SALAH satu dampak dari pandemi virus corona atau Covid-19 yang terjadi di banyak negara dan wilayah di dunia adalah penutupan sekolah.
Penutupan banyak sekolah di dunia telah terjadi sejak beberapa bulan belakangan. Aktivitas belajar-mengajar pun dialihkan dari sekolah ke rumah, melalui internet dan perangkat digital.
Namun kini, ketika kurva infeksi virus corona di banyak negara di dunia mulai melandai, muncul kekhawatiran baru mengenai rencana pembukaan kembali sekolah.
Banyak pihak, terutama orangtua, yang khawatir soal bagaimana situasi sekolah ketika dibuka kembali pasca pandemi Covid-19.
Sejumlah ahli pun memperkirakan bahwa situasi sekolah akan berbeda antara sebelum dan sesudah pandemi. Apa saja perbedaan itu? Berikut prediksi sejumlah ahli:
1. Jadwal tahun akademik mengalami penyesuaian
Di Amerika Serikat, sebagai contoh, sekolah-sekolah diprediksi akan mulai dibuka kembali pada bulan September mendatang. Hal itu menyebabkan jadwal di tahun akademik tahun ini akan terganggu dan mau tidak mau harus melakukan penyesuaian.
Lebih dari itu, baik pihak sekolah maupun orangtua harus bersiap menghadapi kemungkinan penutupan sekolah lagi jika gelombang kedua pandemi virus corona terjadi.
"Bahkan setelah sekolah dibuka, jika kita memiliki gelombang kedua virus ini, mereka mungkin harus menutup lagi," kata presiden American Academy of Pediatrics (APP), Dr. Sally Goza.
"Mungkin ada penutupan bergilir, di mana mereka buka, lalu mereka tutup, lalu mereka buka lagi," katanya.
Untuk membuat situasi lebih kondusif, orangtua didesak untuk jujur kepada anak-anak mereka tentang kemungkinan itu. Tujuannya agar anak-anak memahami apa yang terjadi dan tidak terkejut dengan perubahan yang terjadi.
"Bagikan informasi yang Anda tahu pasti dengan cara yang sesuai dengan perkembangan. Jika anak Anda menanyakan sesuatu yang tidak Anda ketahui, jujurlah dan hindari penjelasan yang tidak jelas," kata seorang psikolog dan direktur senior Pusat Gangguan Kecemasan Anak Mind Institute, Rachel Busman.
"Tidak apa-apa untuk mengatakan (kejujuran)," sambungnya.
2. Jam belajar pendek
Untuk menjaga agar anak-anak, guru, dan staf sekolah lainnya aman dan nyaman, pejabat kesehatan di Amerika Serikat menekankan pentingnya untuk menjaga jarak dan tidak membuat kerumunan.
Sekolah-sekolah pun harus beradaptasi dengan situasi tersebut, salah satu opsinya adalah dengan menyesuaikan jadwal harian. Sehingga para siswa masuk sekolah pada jam yang bergantian. Hal itu akan menekan potensi anak berkerumun. Namun di sisi lain juga akan menyebabkan jam belajar yang lebih pendek di sekolah.
"Saya pikir kita bisa melihat guru yang sekarang melakukan tiga shift (siswa) sehari, dengan dua atau dua-seperempat jam per shift," kata seorang profesor praktik dalam kepemimpinan pendidikan dan direktur Akademi Kepala Sekolah Musim Panas di Teachers College di Universitas Columbia, Brian Perkins.
Jadi, alih-alih menempatkan 30 siswa di kelas selama sehari penuh, pihak sekolah mungkin bisa membagi mereka ke dalam tiga kelas, dengan masing-masing berisi 10 siswa.
Tiga kelas itu hadir di jadwal yang bergantian dalam satu hari. Dengan demikian, potensi berkerumun bisa ditekan dan anjuran jaga jarak bisa tetap dilaksanakan.
Perkins mengakui, jadwal bergantian seperti mungkin akan membebani orangtua dan guru, namun itu adalah pilihan terbaik yang tersedia saat ini.
3. Penggunaan masker akan menjadi wajar
Di Amerika Serikat, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mengusulkan agar sekolah-sekolah mewajibkan guru untuk mengenakan masker kain selama proses belajar-mengajar di sekolah. Tujuannya adalah untuk meminimalisir potensi penularan virus corona di lingkungan sekolah.
Belum jelas apakah pedoman senada juga akan dilakukan di Indonesia, namun ada potensi ke arah sana.
Pasalnya, para ahli menilai bahwa penggunaan masker kain adalah salah satu strategi efektif untuk membatasi penyebaran virus corona.
KOMENTAR ANDA