SEBELUM bersuka cita di hari raya, mari mempertanyakan: sudah pantaskah kita merayakan kemenangan?
Allahu akbar. Allahu akbar. Allahu akbar.
Dalam hitungan jam, gemuruh takbir menyambut datangnya hari Idul Fitri akan membahana seantero dunia. Di dalamnya terkandung suka cita dan kegembiraan menyambut hari nan fitri.
Di meja makan, sudah tersaji ketupat, sayur godog, rendang, opor ayam, juga sambal goreng ati yang begitu menggoda selera. Berlimpah. Meriah.
Untaian lirik lagu “Baju baru alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama” pun ramai disenandungkan. Jika dulu lagu tersebut dirasa hanya olok-olok belaka—karena hampir mustahil kita tidak membeli baju baru untuk lebaran—maka kini bait lagu milik Dea Ananda itu mungkin menjadi isi hati banyak orang. Berkurang pendapatan, bahkan ada yang dirumahkan akibat corona. Akibatnya, tak ada alokasi dana untuk membeli baju lebaran.
Kata ustaz dan ustazah, Ramadan selama karantina Covid-19 seharusnya mampu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk lebih khusyuk beribadah. Maklumlah, urusan dunia menjadi sangat sedikit porsinya. Kalau pun harus work from home, waktunya tidak menyita hari kita seperti office hours dulu.
Waktu untuk salat tarawih, salat tahajud, salat dhuha, salat sunnah rawatib sebelum dan sesudah salat wajib, hingga salat sunnah wudhu, seharusnya bisa dikerjakan sebanyak-banyaknya. Ditambah lagi tadarus qur’an yang seharusnya bisa khatam lebih dari satu kali. Semua karena kita #dirumahaja.
Seharusnya.
Seharusnya bisa.
Lantas kenyataannya?
Karena tak kuat menahan kantuk, kita salat subuh terburu-buru lalu tidur. Cukup dua rakaat saja. Padahal ada salat sunnah fajar yang dalam hadis riwayat Muslim disebut Rasul bernilai lebih baik dari dunia dan seisinya. Mata kita terpejam hingga menjelang azan zuhur. Salat dhuha pun terlewat. Padahal kita tidak pergi ke mana-mana.
Selepas zuhur, urusan kerjaan via zoom tidak bisa ditinggalkan hingga ashar. Setelah itu, kita sibuk memasak hidangan untuk berbuka puasa. Selepas berbuka, berkomunikasi dengan keluarga dan sahabat melalui chat group. Atau sibuk membandingkan perang diskon di beberapa marketplace. Hingga malam setelah tarawih, lagi-lagi mata terasa berat, seringkali hanya sanggup membaca tak sampai tiga lembaran qur’an.
Jika siklus Ramadan kita seperti di atas, maka patutlah kita bertanya pada nurani: pantaskah saya merayakan kemenangan?
Kemenangan yang dirayakan saat Idul Fitri hakikatnya adalah keberhasilan seorang mukmin untuk kembali ke fitrahnya. Fitrah sebagai manusia yang bersih dari dosa dan maksiat, fitrah sebagai manusia yang selalu condong pada amal salih, dan fitrah sebagai manusia yang bisa mengalahkan hawa nafsunya.
Kemenangan adalah milik seorang mukmin yang puasanya berhasil mengantarkannya kepada derajat takwa. Kemenangan yang dihasilkan dari perjuangan mengutamakan Allah dibandingkan segala urusan duniawi. Kemenangan yang diraih dengan susah payah untuk mengalahkan godaan setan.
Kemenangan selepas Ramadan menjadi milik orang mukmin yang tak lelah mengejar keridhaan Allah termasuk kesediaannya menyibukkan diri dengan salat, dzikir, dan tadarus demi mendapatkan lailatul qadr.
Maka jika kita mau jujur pada nurani, bila kita belum bisa memantaskan diri untuk menjadi pemenang Ramadan kali ini, maka sepantasnya kita merasa malu, kecewa, bersedih, pun menyesal. Menyesali betapa ruginya kita mengabaikan lautan pahala yang Allah janjikan kepada hamba-hambaNya.
Jika kita belum bisa memantaskan diri untuk menang saat ini, getarkanlah harapan kita dengan segenap hati: Ya Allah, mohon pertemukan kami dengan RamadanMu di tahun depan. Izinkan kami meraih nikmat RamadanMu kembali agar kami bisa merasa layak dan pantas merayakan kemenangan.
Taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum.
KOMENTAR ANDA