SATU di antara sekian banyak hikmah yang bisa saya petik dari masa harus berada di dalam rumah demi memutus mata rantai penularan virus Corona adalah memperoleh lebih banyak waktu untuk mempelajari peradaban masyarakat dunia. Selaras hadits Nabi Muhammad SAW “Uthlubul Ilma Walau Bishin” yang berarti “Carilah Ilmu Sampai Ke Negeri China” maka saya mencoba mempelajari peradaban China.
Menarik bahwa ternyata peradaban China pada abad II sebelum Masehi sudah menghadirkan mahakarya pemikiran matematikal berupa sistem angka terbuat dari batangan kecil bambu merepresentasikan angka 1 sampai 9 sebagai pelopor sistem hitungan desimal yang digunakan sampai masa kini demi memungkinkan penghitungan rumit menjadi lebih mudah dan cepat. Saya tidak berani menyatakan alat-hitung suan pan (abakus) sebagai penemuan China sebab konon sudah digunakan terlebih dahulu oleh masyarakat Sumeria.
Lo Shu
Mahakarya pemikiran matematikal prasejarah China lainnya adalah segi empat Lo Shu atau disebut juga sebagai Diagram Sembilan Ruang. Konon Kaisar Yu menemukan Lo Shu di punggung seekor penyu yang keluar dari Sungai Kuning yang sedang meluap sehingga menimbulkan musibah banjir di China. Lo Shu berbentuk segi empat yang terbagi menjadi 9 kotak yang masing-masing berisi titik dan titik-titik bulat merepresentasikan angka 1 sampai dengan 9 yang tersusun sedemikian rupa sehingga apabila dijumlahkan secara horisontal, vertikal mau pun diagonal selalu menampilkan angka 15.
Lo Shu membuktikan bahwa para matematikawan China sejak dahulu kala sudah menyadari bahwa geometri merupakan bagian melekat pada matematika. Adalah geometri Lo Shu yang kemudian berkembang menjadi geomansi alias apa yang popular disebut sebagai Feng Hsui yang didayagunakan sebagai pedoman geometri spiritual untuk menata makam, kuil sampai kota.
Pada abad XIII segi empat Lo Shu berkotak sembilan dikembangkan menjadi lebih besar dan lebih kompleks oleh mahamatematikawan China, Yang Hui. Adalah Yang Hui pula yang menciptakan presentasi triangular binomial koefisien identik dengan Pascal’s Triangle yang diciptakan oleh mahamatematikawan Prancis, Blaise Pascal pada abad XVII di Eropa.
Jiuzhang Suanshu
Kebangkitan pemikiran matematika China merupakan jawaban atas tuntutan kebutuhan penguasa atas para penata-usaha yang menguasai ilmu hitung. Sebuah textbook berjudul “Jiuzhang Suanshu” atau “Tujuh Bab Mengenai Seni Matematika” ditulis oleh beberapa matematikawan pada abad II sebelum Masehi menjadi alat penting untuk pendidikan para petugas penguasa meliputi berbagai permasalahan kepemerintahan seperti perdagangan, perpajakan, penggajian, akuntansi dan lain sebagainya.
Jiuzhang Suanshu juga penting sebagai pedoman untuk memecahkan masalah ekuasi sebagai deduksi angka tak dikenal dari sumber informasi lain dengan menggunakan sebuah metode berbasis matrix yang tidak dikenal dunia Barat sampai Carl Friedrich Gauss menemukan teori Eliminasi Gauss pada abad XIX setelah Masehi di Jerman.
Liu Hui, Sun Tzu, Qin Jiushao
Liu Hui memelopori penelitian akar dan menetapkan nilai π sama dengan 3.14159 serta juga mengembangkan bentuk awal integral mau pun diferensial kalkulus. Sementara Sun Tzu yang lebih tersohor sebagai ilmuwan perang menemukan teknik menghitung nilai terendah angka tak dikenal yang kemudian digunakan oleh para astronom untuk mengukur gerak planet dan juga digunakan untuk kriptografi internet.
Pada abad XIII Masehi yang disebut sebagai Abad Keemasan Matematika China terdapat lebih dari 30 aliran pemikiran matematika tersebar di seluruh China. Mungkin yang paling brilian adalah Qin Jiushao, seorang administrator kekaisaran gemar berperang dan korup yang mengembangkan solusi terhadap ekuasi kuadratik bahkan kubik dengan metode pengulangan aproksimasi seperti yang kemudian dikembangkan oleh Sir Isaac Newton di Inggris pada abad XVII.
Qin juga mengembangkan teknik kalkulasi ekuasi melibatkan angka-angka sampai kekuatan sepuluh yang merupakan matematika supra rumit pada masa itu. Para pemikir matematikal China juga menggagas apa yang kini disebut sebagai Chinese Remainder Theorem.
Indonesia
Sebagai seorang pembelajar pemikiran matematika, saya mengagumi peradaban China yang telah melahirkan berbagai mahakarya pemikiran kelas langitan. Namun sebagai warga Indonesia yang bangga atas bangsa saya sendiri, saya yakin bahwa peradaban Nusantara yang kini disebut sebagai Indonesia juga memiliki warisan mahakarya pemikiran matematikal seperti tampak pada kearifan ukuran tradisional semisal sejengkal, setapak, selangkah, setelapak, sejempol, sekelek, selutut, sekejap mata, semusim padi, seusia jagung, setua kura-kura dan lain sebagainya.
Teknologi tradisional agraria di berbagai daerah Indonesia juga berakar pada pemikiran matematikal Nusantara. Sama halnya dengan pembuatan kapal Bugis dan Madura juga menggunakan pemikiran matematikal Nusantara yang tidak dimiliki bangsa lain. Hanya memang sejauh ini saya belum mengetahui apakah sudah ada peneliti peradaban termasuk para arkeolog kebudayaan telah meneliti peradaban pemikiran matematikal Nusantara yang kini disebut Indonesia.
Jika belum ada, maka perlu diadakan. Jika sudah ada maka adalah tugas direktorat jenderal kebudayaan Republik Indonesia mempromosikan hasil penelitian pemikiran matematikal Nusantara ke seluruh dunia sebagai warisan kebudayaan bangsa Indonesia yang dipersembahkan bagi dunia. MERDEKA!
Penulis adalah pembelajar peradaban dan kebudayaan dunia
KOMENTAR ANDA