BEGITU banyak perkembangan penting hari ini.
Nasib Sabrina Meng diputuskan hari ini. Oleh pengadilan di Vancouver, Kanada.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu --yang dua hari lalu mulai diadili dengan tuduhan korupsi-- meningkatkan perlawanan hari ini.
Di Beijing --hari ini juga-- sidang pleno DPR ditutup dengan sejarah: lahirnya dua undang-undang penting. Yang satu adalah UU pengaturan masyarakat sipil --yang sudah tertunda puluhan tahun. Satunya lagi UU keamanan Hongkong --yang menyebabkan demo besar-besaran di pulau itu sejak tiga hari lalu.
Yang juga penting hari ini: kuli bangunan di Kampung Manggis Jambi itu, M. Nuh, kian sulit dicari. Yakni setelah video wawancaranya dengan seorang netizen menjadi viral.
Kita seperti mendapat hadiah lebaran yang paling segar tahun ini: dagelan kuli bangunan itu. Baru kali ini Cak Lontong kalah lucu.
Sidang pleno tahunan DPR di Beijing itu mestinya sudah berlangsung dua bulan lalu. Covid-19 membuatnya tertunda minggu ini.
Agendanya tetap: mengesankan dua UU tadi --yang dua-duanya sangat mendasar.
Dalam UU Sipil itu diatur soal kepemilikan tanah, rumah, soal waris, hak-hak pribadi, perjanjian kontrak, soal cerai, dan soal gugatan pribadi.
Itu sangat menarik --justru karena Tiongkok adalah negara komunis. Ternyata mereka lagi menyiapkan diri untuk menjadi negara komunis yang modern --yang kita belum tahu akan seperti apa.
Saya tentu akan terus mencari tahu. Juga akan mengkajinya. Apa saja perubahan di sana nanti setelah UU Sipil tersebut disahkan. Kalau saja tidak ada Covid-19 hampir pasti saya sudah di sana.
Yang jelas saat ini Tiongkok sudah sama sekali tidak berpegang pada Das Kapital-nya Karl Marx --kitab sucinya orang komunis yang ditulis oleh pendiri komunisme itu.
Komunisme itu awalnya hanya bertumpu pada satu kaki: buruh. Yang harus berjuang melawan majikan. Proletar melawan borjuis.
Ketika sampai ke Tiongkok, komunisme harus direvisi. Tidak banyak buruh pabrik di Tiongkok. Yang lebih banyak: petani. Yang tidak kalah miskinnya dengan buruh.
Maka komunis Tiongkok bertumpu pada dua kaki: buruh dan tani. Seperti yang kemudian diikuti oleh Partai Komunis Indonesia --almarhum.
Tapi 30 tahun menganut komunisme membuat rakyat di Tiongkok tetap sengsara. Sampailah pada era kepemimpinan Deng Xiaoping, 1975. Tahun lalu saya sempat ke museum kesengsaraan Deng Xiaoping di Nanchang. Saya juga sudah ke kampung kelahirannya di pedalaman Sichuan --antara kota Chengdu dan Chongqing.
Deng Xiaoping-lah yang membawa komunisme ke arah pragmatisme. Sejak tahun 1980-an itu praktis berakhirlah era komunisme lama.
Saya beruntung menyaksikan sendiri perubahan era itu di Tiongkok. Banyak kali saya ke sana di era 1980-an itu. Yakni ketika Tiongkok masih jauh lebih miskin dari Indonesia.
Di era Deng Xiaoping inilah unsur pengusaha diterima dalam sistem komunisme. Aneh bin ajaib. Komunisme didirikan untuk melawan pengusaha. Tapi di Tiongkok pengusaha dimasukkan dalam soko guru komunisme.
Maka di zaman Jiang Zemin --pengganti Deng Xiaoping-- resmilah: komunisme dua kaki diubah. Menjadi komunisme tiga kaki. Dari hanya buruh dan tani menjadi: buruh, tani, dan pengusaha.
Sepuluh tahun kemudian, di era Hu Jintao --pengganti Jiang Zemin-- kaki tiga itu ditambah menjadi empat: buruh, tani, pengusaha, dan ilmuwan.
Para ilmuwan bidang ideologi dan politik mestinya bingung: bisakah komunisme berkaki empat seperti itu masih disebut komunis?
Ataukah sudah harus ditemukan kategori baru? Apapun namanya --asal bukan komunisme?
Memang masih ada beberapa patung Karl Marx saya temukan di sana. Misalnya di salah satu lobby hotel di kota Hangzhou. Tapi ajarannya sudah disesatkan jauh sekali.
KOMENTAR ANDA