BERUNTUNGLAH orang-orang yang dilanda rindu. Karena masa lalu tak pernah benar-benar berlalu. Sebab ada jejak-jejak bahagia yang senantiasa berseri di hatimu. Tetapi sejatinya masa lalu tetaplah menjadi masa lalu. Sebesar apapun rindu tidak akan mampu mengembalikannya padamu.
Pada bulan Syawal inilah ada rindu yang menggumpal. Ramadhan 1441 H sudah sempurna dengan terbitnya fajar Idul Fitri. Namun rindu Ramadhan dengan lekas membuncah, menggebu dan tak terhalang oleh waktu. Seiring dengan itu menyeruak pula harap-harap cemas bisa berjumpa Ramadhan tahun berikutnya. Itupun kalau nyawa masih dikandung badan.
Barangsiapa yang berhasil mereguk saripati Ramadhan akan senantiasa merindukan nuansa puasa, lengkap dengan kenangan sahur dan iftharnya. Termasuk pula kenangan shalat Tarawih, Witir, Iktikaf, Tahajud serta tilawah Al-Qur’an sampai khatam. Kemudian kenangan-kenangan berpuasa itu pula yang menciptakan rindu.
Karena puasa bukan sekadar menahan lapar dahaga, melainkan proses untuk mengenali hakikat jati diri. Dengan melaparkan diri, kita mengikis nafsu-nafsu hewani dan menjadi lebih manusiawi. Kita benar-benar lebih merasa jadi manusia bersama puasa Ramadhan.
Allah memahami itu semuanya. Rindu itu tidak perlu tertunda sampai tahun depan. Hidup kita tak perlu terganggu oleh pedihnya menahan rindu dalam masa yang amat panjang. Karena agama juga menghidangkan puasa di bulan Syawal. Jumlahnya memang tidak sebulan penuh seperti Ramadhan, tetapi dalam 6 hari itu pahalanya setara setahun berpuasa. Inilah istimewanya puasa bulan Syawal.
Pada buku Fiqh as-sunnah lin-Nisa, Abu Malik Kamal menaruh di posisi pertama puasa enam hari di bulan Syawal ini sebagai bagian dari pembahasan puasa-puasa sunnah. Pada bukunya itu, ia pun mencantumkan dalilnya. Abu Ayyub al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian melanjutkannya dengan enam hari puasa pada bulan Syawal, seakan-akan dia berpuasa setahun penuh.” (Hadis riwayat Muslim, Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Mengingat demikian besarnya pahala puasa di bulan Syawal, maka setiap muslim hendaklah memprioritaskan amalan ini. Mari lengkapi puasa Ramadhan dengan enam hari puasa sunnah di bulan Syawal, agar kita meraih pahala berpuasa setahun penuh. Agama tidak membiarkan Ramadhan berlalu begitu saja, karena ada suatu kesinambungan dengan puasa sunnah setelahnya.
Tidak ada yang terlalu berbeda dalam puasa Syawal ini, karena pelaksanaannya relatif sama dengan puasa-puasa lainnya. Hanya saja kita memasang niat khusus menunaikan puasa sunnah Syawal. Makan sahur juga disunnahkan. Begitu pula dengan berbuka puasa (ifthar). Bedanya, puasa Syawal ini dilaksanakan selama enam hari, secara berurutan atau berselang-seling hari.
Ada yang membedakan Idul Fitri di Tanah Air dengan negara-negara muslim lainnya. Bagi mereka hari raya besar itu justru di hari Idul Adha. Bagi kita muslim Indonesia, malahan Idul Fitri yang dirayakan besar-besaran. Sehingga lahirlah berbagai acara yang menyertainya seperti Lebaran, mudik, halal bi halal, open house dan lain sebagainya. Dan kebanyakan dari berbagai acara itu ujungnya makan-makan juga.
Akhirnya Lebaran malah menjadi aksi melebarkan mulut selebar-lebarnya, sehingga makanan apa saja masuk. Akibatnya, setelah Idul Fitri rumah sakit menjadi sesak karena banyak yang sakit akibat makanan. Bagaimana tidak sakit, sebulan penuh lambung dan pencernaan istirahat bekerja, tiba-tiba harus kerja ektra keras ketika Lebaran.
Dari itulah, mari kita manfaatkan puasa Syawal ini untuk melanjutkan kemenangan Ramadhan. Kita berhasil menjadi manusia sejati, karena mendahulukan kebaikan dan kebenaran yang dibentangkan oleh agama. Agar kita memahami puasa bukan hanya tentang lapar dahaga, tetapi pengendalian atas hawa nafsu.
Sejatinya tidak ada yang amat berbeda dan tidak ada yang memberatkan dalam ibadah puasa Syawal ini. Karena yang berat itu bukan rindu melainkan memasang niat yang kuat. Niat itu berhubungan dengan hati, sedangkan hati merupakan sesuatu yang perlu usaha keras dalam mengendalikannya.
Sebetulnya puasa Syawal ini tidak akan mengurangi kemeriahan perayaan Idul Fitri atau pun rangkaian acara berlebaran. Seperti seorang bos perusahaan terkemuka di Indonesia yang menggelar open house selama bertahun-tahun. Dia menerima banyak sekali tamu dan melayani kedatangan karyawan-karyawannya.
Dia tetap menghidangkan makanan bercita rasa tinggi dan memuliakan tamu-tamunya. Sedangkan lelaki itu beserta istri dan anak-anaknya menunaikan puasa sunnah Syawal. Ibadah puasa itu sama sekali tidak menghalanginya menghormati orang-orang yang datang berlebaran.
Perayaan Lebaran sudah seperti pesta besar-besaran; pasar malam digelar, hiburan diadakan, open house dibuka, uang jajan ditambah, dana belanja berlipat ganda dan sebagainya. Akibatnya dalam satu bulan Syawal ini agenda kegiatan menjadi sangat padat. Dan amat disayangkan kalau gara-gara itu semua ibadah puasa Syawal malah terlewatkan.
Alangkah indahnya tatkala nuansa Ramadhan itu kembali bersemi dimana keluarga kembali sahur dan berbuka bersama. Nuansa suci itu kembali menyelimuti ketika kita berpuasa sunnah Syawal sekeluarga. Kesyahduan itu tetap terjaga, karena keberkahan tetap menyelimuti rumah tangga.
Sebagian orang menyebut bulan Syawal sebagai bulan cerai. Maksudnya, dengan datangnya Syawal maka tibalah saatnya berpisah dari bulan Ramadhan. Kita memang berpisah dari bulan Ramadhan, karena mana ada orang yang bisa menahan pergantian bulan. Tetapi kita tidak boleh bercerai dengan nuansa Ramadhan. Karena kesyahduan Ramadhan itu harus terus hidup dalam diri, keluarga dan lingkungan kita.
KOMENTAR ANDA