BAGI yang pernah membaca atau menonton Imperfect dalam bentuk buku karangan Meira Anastasia maupun film garapan Ernest Prakasa, pasti akrab dengan kalimat “ubah insekyur jadi bersyukur”.
Imperfect yang digaungkan suami istri itu mengisahkan tentang perjuangan menuju self-acceptance alias penerimaan diri. Yaitu bagaimana perempuan berdamai dengan ketidaksempurnaan yang ada dalam dirinya, terutama yang berkaitan dengan penampilan fisik.
Bagi banyak perempuan, ketidaksempurnaan fisik dapat menjadi penghalang untuk berkembang. Ketika perempuan tidak bisa fokus pada kelebihan yang dimiliki dan memilih terpuruk karena kekurangan fisiknya, saat itulah dia akan kesulitan mengembangkan potensi dirinya.
Bayangkan jika setiap hari energi kita terkuras karena mendengarkan apa kata orang lain. Padahal kita hidup bukan untuk memuaskan orang lain.
Jika pun kita ingin mengubah diri, harus dengan kesadaran utuh bahwa itu adalah yang terbaik bagi kita. Demi kesehatan kita, secara fisik maupun mental. Demi berkembangnya diri kita menjadi manusia yang lebih berkualitas. Bukan untuk menyenangkan orang lain atau demi mendapat pujian orang lain.
Ada banyak penyebab mengapa seseorang bisa merasa insecure dengan dirinya sendiri maupun kehidupannya.
Good Therapy menyebut bahwa sebenarnya tidak ada penyebab pasti bagaimana seseorang bisa merasa insecure. Beberapa faktor yang bisa memicu insecure di antaranya adalah kepercayaan diri yang rendah, trauma, maupun body dysmorphic disorder yaitu kondisi psikologis seseorang yang cemas berlebih dan menganggap ada yang salah dengan tubuh mereka—baik yang nyata maupun hanya imajinasinya.
Perasaan insecure hanya bisa dikalahkan oleh keyakinan bahwa manusia sejatinya memiliki posisi yang sama untuk bisa meraih kebahagiaan dan prestasi dalam hidupnya. Dan penentunya bukanlah kesempurnaan fisik, melainkan hati dan pikiran yang jernih dan kapabilitas pribadi untuk meraih goals dalam hidup.
Bahkan bagi seorang model sekali pun, kecantikan dan kemolekan tidak akan membuat klien memilihnya manakala attitude tidak mendukung. Karena kita tahu, di industri hiburan dan modeling, wajah cantik dan tubuh langsing sangat melimpah. Maka harus ada nilai lebih yang membuat seseorang menjadi ‘bersinar’.
Di masa pandemi ini, dengan bersiapnya kita menjalani berbagai new normal, sudah waktunya kita bangkit dari rasa insecure yang mungkin sudah bertahun-tahun kita berjuang untuk mengatasinya.
Tidak ada waktu untuk memikirkan how to look good, karena yang terpenting saat ini adalah how to be healthy.
Perempuan harus menjadi pondasi kuat di keluarga dan masyarakat untuk bisa bertahan menghadapi pandemi hingga menghadapi new normal.
Sebagai ibu, perempuan harus memiliki ketajaman pikiran, kekuatan fisik, dan kesabaran hati yang tak ada habisnya untuk membimbing buah hati tercinta melalui hari-harinya di rumah. Bagaimana kita memberi pengertian, mengatasi kebosanannya, sekaligus mengajarkannya tentang norma hidup baru yang harus dia jalani ke depan.
Tak ada waktu untuk membiarkan insecure mengganggu pikiran kita karena kita harus fokus lebih intens mengurus anak dan rumah tangga.
Sebagai istri, ini saatnya kita berhias di rumah. Bagi seorang Muslimah, terlebih perempuan yang berkarir profesional, biasanya sapuan bedak, lipstik, blush on, dan eyeliner kita tujukan untuk menyenangkan pandangan mereka yang berada di luar rumah. Sedangkan untuk suami di rumah? Cukup dengan roll rambut, wajah bermasker lumpur, juga daster kesayangan yang sudah pudar warnanya.
Well, this is new normal. Jadi mari kita ‘putar balik’ sesuai anjuran Islam: “berhiaslah untuk suamimu”. Karena toh, waktu kita lebih banyak di rumah. Kalau nanti akan back to office, waktunya tidak akan seintens sebelum pandemi. Dan kalau pun bekerja di kantor, kita tetap diwajibkan mengenakan masker.
Sebagai lajang, kita jelas diuntungkan karena kebijakan work from home. Kita tak harus menghadapi pandangan mengejek orang lain, atau pertanyaan seputar “kapan kurus” yang dilontarkan orang melalui beragam kalimat. Saved by Zoom, begitu kira-kira. Tapi tetap saja, kita masih harus menghadapi ‘ocehan’ orang dalam bentuk teks di media sosial yang nyinyir dengan bentuk tubuh kita.
Ubah insecure kita menjadi new normal insecure sekarang juga.
Mengapa harus ada new normal insecure? Apa yang harus kita takutkan (membuat kita tidak percaya diri) di masa pandemi ini? Ternyata banyak.
Kita harus merasa insecure manakala kita tidak mematuhi standar kesehatan dalam beraktifitas dan bersosialisasi.
Kita harus merasa insecure manakala kita tidak bisa membuat keluarga kita menikmati berbagai hikmah yang dihadirkan corona.
Kita harus merasa insecure manakala kita tidak bisa menjadi pribadi yang lebih sehat selepas pandemi.
Kita harus merasa insecure manakala kita tidak mampu mengubah gaya hidup kita menjadi lebih sederhana di masa sulit ini.
Kita harus merasa insecure manakala kita tidak bisa membantu sesama yang mengalami kesulitan hidup selama pandemi.
Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada insecure masa lalu kita. Ingatlah, bicara urusan fisik maka yang terpenting adalah sehat.
Ketika kita sehat, kita akan menjadi pribadi yang menyenangkan dan produktif. Dengan menjadi pribadi yang sehat, kita akan lebih khusyuk beribadah dan lebih banyak beribadah di masa pandemi hingga ke depannya.
KOMENTAR ANDA