Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BAPAK itu mengajukan dua pertanyaan penting kepada pemuda yang melamar putri sulungnya.

Dia bertanya, “Apakah sudah bekerja?” Pemuda itu ternyata pengusaha tekstil yang tajir. Bapak itu bertanya, “Apakah kalian saling cinta?” Pemuda itu mampu menjawab dengan penuh keyakinan.

Maka sang bapak itu tersenyum lalu berseru, “Bungkus!”

Pesta pernikahan meriah yang mengangkat martabat keluarga pun digelar besar-besaran. Para tamu memuji-muji. Menurut mereka bukan pasangan itu saja yang beruntung, tetapi juga pihak keluarganya.

Waktu terus berlalu dan roda nasib menjungkirbalikkan segala prediksi. Pabrik tekstil berikut delapan ruko miliknya tutup disebabkan bangkrut. Karena stres, lelaki itu mabuk-mabukan lalu terpikat wanita malam. Sang bapak bermuram durja melihat perangai menantu, dan meratapi nasib putri dan cucu-cucunya yang terlantar.

Waktu tak berhenti bergulir, kemudian datang pula seorang pemuda yang melamar putri bungsunya. Sang bapak mengajukan pertanyaan yang berbeda, “Apakah kamu telah mempelajari tanggung jawab suami menurut agama?” “Apakah kamu sudah mengetahui psikologi perempuan?” “Apakah kamu telah mendalami makna kebahagiaan?” Pemuda itu mampu menjawab tapi tergagap-gagap.

Kali ini senyuman sang bapak lebih bijaksana dan berkata, “Pelajari dulu ilmu rumah tangga ya!”

Dua insan itu disuruh bersabar, semata-mata untuk belajar terlebih dahulu. Pernikahannya direstui, tetapi dengan syarat mempunyai bekal ilmu-ilmu rumah tangga.

The World of The Married; dunia penikahan itu bukan sependek malam pertama atau sesingkat bulan madu. Pernikahan itu melalui masa yang teramat panjang, berliku dan juga genting.

The World of The Married adalah teka-teki paling mendebarkan, karena tidak ada yang benar-benar tahu apa jawaban yang paling tepat. Namanya saja The World of The Married; maka pernikahan itu menciptakan dunianya sendiri yang rumit, ruwet dan penuh episode ketegangan.

Masalah keluarga itu untuk disyukuri, bukannya dihindari. Karena masalah-masalah itulah yang mendewasakan diri kita dan meneguhkan rumah tangga. Apapun masalahnya, maka yang terpenting dicari adalah solusinya. Suami, istri dan anak-anak secara bersama-sama menemukan pemecahan masalah. Mengapa harus bersama?

Kalau istri saja yang bekerja keras mencari solusi (part of the solution), sementara suami terus saja menciptakan masalah demi masalah (part of the problem), maka kerunyaman rumah tangga tidak akan pernah berakhir. Karena sekeras apapun upaya istri menyelesaikan masalah, kekisruhan keluarga tidak akan benar-benar usai jika suami terus memproduksinya. Sama saja istrinya seperti membuang garam ke laut. Ya, percuma! Kok laut yang digarami.

Sang bapak punya niat baik tatkala meminta calon pengantin itu terlebih dahulu belajar ilmu rumah tangga. Karena bapak itu sendiri telah belajar dari pengalaman pahit, bahwa harta bukanlah segalanya. Setidaknya tatkala menghadapi masa-masa sulit, suami istri mempunyai bekal ilmu dan tahu apa yang harus dilakukan.

Begitu pula, sekalipun berada di masa-masa terbaik, di puncak kejayaan, bukan berarti hidupnya akan sepi masalah. Tumpukan harta bukan jaminan segalanya akan lancar-lancar saja. Justru, banyak yang lupa diri ketika dirinya dan keluarga berada di masa-masa keemasan.

Dengan bekal ilmu yang mumpuni dan kekuatan mental, maka pasangan suami istri dapat membangun dunia pernikahannya sendiri, yang tidak lagi hanyut oleh intrik-intrik pihak luar. Begitula hendaknya keluarga dalam menghadapi masalah kehidupan, jangan pernah tenggelam! Sebanyak apapun masalah, meskipun selautan luas, tapi kita tetap mampu berpikir jernih.

The World of The Married itu tentang pernikahan yang mempunyai visi mengenai apa yang akan dituju tatkala mengayuh biduk rumah tangga. Pernikahan tanpa visi tidak akan mampu membangun dunianya sendiri. Sehingga pernikahannya tergantung dengan perspektif orangtua, mertua, tetangga, bahkan orang-orang lain.

Tatkala berada di bahtera pernikahan, maka bangunlah visi rumah tangga. Suami istri bersama mencari jawaban dari pertanyaan, “Apa tujuan pernikahan ini?” Kalau tidak ada lagi visi yang dikejar bersama, maka dunia pernikahan akan diliputi kehampaan. Lama-kelamaan, baik suami atau malah istri sama-sama kompak untuk saling menyakiti.

Ketika harta telah habis, apakah dunia pernikahan kita akan binasa? Saat cinta pupus, apakah dunia pernikahan menjadi kiamat? Oleh sebab itu bangunlah tatanan dunia baru, dunia pernikahan yang memiliki visi ke depan.

Apa gunanya visi itu? Ketika kesempurnaan diukur dari kekayaan harta tetapi miskin jiwa, maka dunia pernikahan itu seperti meledakkan dirinya sendiri. Manusia tidak akan pernah terpuaskan dengan harta, ketenaran ataupun pangkat.

Manusia itu makhluk yang unik, yang memiliki visi untuk eksistensi dirinya. Jalaluddin Rakhmat pada bukunya Meraih Kebahagiaan, menuliskan Ed Diener, psikolog dari University of Illionis, meneliti 100 orang Amerika terkaya yang dicatat Forbes. Sebagian besar menemukan uang telah membuatnya menderita. Kita dengan mudah menemukan miliarder dolar yang hidupnya kacau balau.

David Myers menuliskan kehidupan Amerika dengan judulnya The American Paradox: Spiritual Hanger in an Age of Plenty, Paradoks Amerika: Kelaparan Spiritual di Masa Kemakmuran. Kita juga melihatnya sebagai paradoks. Kita yang miskin selalu membayangkan betapa bahagianya orang Amerika yang kaya. Tetapi, di tengah-tengah kemakmuran itu David Myers menemukan penderitaan. Bab 6, yang melukiskan paradoks kemakmuran ini, mengandung judul yang aneh: Money and Misery: Uang dan penderitaan. Artinya, makin banyak uang makin menderita.

Masih di buku Meraih Kebahagiaan dituliskan, bayangkanlah Anda berada di Amerika. Setiap hari Anda berjumpa dengan orang-orang yang tampak murung, sulit tertawa dan kepayahan memikul beban yang berat. Mereka tinggal di rumah bagus dengan penghasilan rata-rata 20 juta rupiah setiap bulan. Tetapi mereka merasa hidupnya sengsara; bekerja lebih keras tetapi dengan pendapatan yang makin sulit memenuhi kebutuhan.

Karena depresi yang meluas itu, kini diketahui bahwa bangsa-bangsa di negara makmur mempunyai tingkat bunuh diri yang lebih tinggi dari negara miskin.

Apa kebahagiaan yang hilang dari kehidupan mereka? Mereka makin tidak puas dengan perkawinan mereka, makin kecewa dengan pekerjaan mereka, makin kesal dengan gaji dan tempat tinggal mereka.  
Pada puncak kematangan jiwa, maka manusia tidak lagi tertawan dengan gemerlap dunia. Manusia akan mencari kepuasan spiritual dan emosional. Manusia mendamba makna kebahagiaan yang hakiki, yang batiniah. Prinsip itulah yang diamalkan oleh Rasulullah ketika membangun The World of The Married.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur