MEMILIKI anak beranjak remaja harus pintar tarik ulur.
Begitu kalimat yang meluncur dari banyak ibu saat ditanya tentang problematika mendidik anak mereka yang mulai memasuki fase belasan tahun. Tidak ada ilmu baku yang bisa digeneralisasi untuk semua orangtua tentang bagaimana menghadapi anak yang mulai ‘gerah’ dianggap anak kecil tapi belum mampu berpikir dan bertindak mandiri itu.
Salah satu masalah besar yang dihadapi anak beranjak remaja adalah peer pressure.
Peer pressure dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai tekanan sosial atau tekanan sejawat. Tekanan tersebut mengakibatkan seorang individu mengubah perilaku, nilai, dan sikap demi menyesuaikan dan mengikuti teman yang memengaruhinya.
Peer pressure saat ini semakin menjadi-jadi dengan adanya media sosial. Dalam hitungan detik, masalah bisa menghampiri anak. Sekali pun dia berada di dalam kamarnya, sendirian. Peer pressure ini bahkan bisa berkembang menjadi bullying maupun cyberbullying, dari body shaming hingga sexting.
Maka pertemanan menjelma menjadi kawah candradimuka bagi anak yang beranjak remaja. Ketika teman memiliki arti yang sangat penting bagi seorang anak, sekaligus juga bisa menghancurkan hidupnya. Apakah dia sanggup melewati fase berteman ini dengan mulus atau tidak.
Ketika menemukan teman yang tepat, dalam arti teman yang memiliki mental positif yang kuat, maka anak dapat belajar untuk menghadapi rintangan dalam hidupnya. Dia bisa belajar untuk mengambil keputusan berdasarkan akal sehat. Dia bisa menjauh dari kesia-siaan masa remaja demi meraih kegemilangan dan prestasi.
Sebaliknya, ketika mendapat teman yang berkepribadian negatif, buah hati kita bisa jadi tetap akan bertahan. Meski nuraninya kerap berontak, tapi dia memilih untuk tetap bersama temannya. Ini yang menakutkan para orangtua.
Sedikit demi sedikit, coba-coba, lalu kemudian terbiasa untuk melakukan kenakalan-kenakalan remaja. Jika tidak disetop sedini mungkin, bisa jadi akan menjadi kebiasaan buruk yang menempel seumur hidup.
Psikolog anak dan keluarga Irma Gustiana, M. Psi., Psi. menjelaskan tentang banyaknya remaja yang mengeluhkan pertemanan. Bagi mereka, berteman terasa sulit dan berat. Ada tekanan dari kelompok atau geng yang membuat mereka tidak nyaman. Apalagi di awal tahun ajaran baru, ketika masuk ke lingkungan sekolah yang baru, tekanan yang dimunculkan para senior bisa membuat anak tidak nyaman untuk bersekolah.
Dari masalah yang ‘ringan’ saja, misalnya teman-teman satu geng tak pernah absen menonton konser penyanyi internasional yang datang ke Indonesia. Atau menghadapi teman-teman sekelas yang selalu ‘ribut’ menceritakan kisah liburan mereka ke luar negeri. Hal itu bisa membuat anak menjadi tidak nyaman.
Peer pressure juga tidak melulu berasosiasi kepada perundungan secara fisik maupun verbal. Dalam urusan pelajaran, seorang anak juga bisa merasakan peer pressure. Misalnya, anak selalu menempati ranking satu selama di SD, tiba-tiba kesulitan beradaptasi dengan sistem pembelajaran di SMP. Dia merasa teman-temannya jauh lebih pintar darinya.
Tekanan dalam bidang akademis ini juga berbahaya jika tidak ditangani dengan serius. Kepercayaan diri yang terus menurun bisa mengakibatkan anak ogah belajar bahkan semakin sulit mengejar ketinggalannya.
Jika peer pressure tidak bisa disikapi dengan baik, maka kehidupan masa remaja menjadi bencana besar bagi seorang anak. Dia bisa menjadi antisosial dan depresi. Naudzubillah.
Menciptakan Surga di Rumah
Jadi, bagaimana agar anak kita mampu menghadapi peer pressure dengan kepala dingin?
Di sinilah dituntut kebijaksanaan kita sebagai orangtua. Melihat berbagai fenomena hidup dari banyak sisi hingga memperkaya upaya kita untuk menyemangati si buah hati.
Empat hal berikut ini bisa diciptakan dari rumah, untuk menjadi tameng menghadapi peer pressure.
#Membangun self-esteem. Anak harus memiliki harga diri alias keyakinan bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Anak yang memiliki self-esteem akan mampu menghargai dirinya sendiri dan bisa menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuannya.
Ada banyak pendapat ahli tentang self-esteem, salah satunya Dariuszky (2004) yang mengatakan bahwa self-esteem merupakan penilaian seseorang bahwa dirinya mampu menghadapi tantangan hidup dan meraih kebahagiaan.
Namun satu hal yang harus diperhatikan orangtua adalah self-esteem hanya bisa tumbuh manakala anak merasa dicintai sepenuh hati oleh orangtuanya. Tanpa adanya bonding antara orangtua-anak, akan sangat sulit membuat anak menghargai dirinya sendiri. Ketika orangtua hanya bisa marah dan berteriak pada anaknya, mustahil anak memiliki harga diri.
#Berani berkata tidak. Ketika anak menilai bahwa dirinya berharga dan berhak bahagia, maka dia akan berani menolak berbagai ajakan buruk atau melawan bermacam penghinaan yang ditujukan kepadanya.
Berani berkata tidak juga menyiratkan anak tidak menganggap pendapat orang lain sebagai penentu jalan hidupnya. Orang boleh saja berkata apa pun untuk membuatnya merasa tidak mampu, tapi anak kita akan mengatakan: “I will not allow anyone to succeed hanging clouds over me!” karena dia tahu dia bisa dan dia berharga.
#Mengembangkan hobi dan prestasi di luar sekolah. Entah itu berbakat fotografi, basket, menari tradisional, melukis, bermain piano, berakting, menyanyi, atau fasih berdebat dalam bahasa Inggris. Entah itu hobi berkebun, memelihara binatang, membuat robot, atau membuat disain grafis.
Orangtua harus peka dan memfasilitasi hobi anak agar skill-nya berkembang, pikirannya terbuka lebih luas, dan dia merasa senang dan bangga dengan dirinya. Dengan begitu dia tidak akan menganggap peer pressure sebagai bencana dalam hidupnya.
#Orangtua hadir utuh untuk anak. Poin keempat ini menjadi kunci untuk menciptakan baiti jannati (rumahku surgaku) sebagai tameng dari peer pressure. Orangtua yang menyandarkan diri kepada Allah yang membuat anak juga meyakini laa hawla wa laa quwwata illa billahi. Yang salah satu tafsirnya menyatakan “tidak ada kuasa bagi hamba untuk menolak keburukan dan tidak ada kekuatan untuk meraih kebaikan selain dengan kuasa Allah”.
Ketika kita hadir utuh, maka kita akan menjadi sahabat terbaiknya. Anak tak akan ragu meluapkan isi pikiran dan perasaannya kepada kita. Karena dia tahu, kita akan mendekapnya penuh kasih hingga dia merasa hangat.
Karena dia tahu, kita akan membisikkan kata-kata yang membuatnya merasa aman untuk melangkah. Dan karena dia tahu, kita akan membawanya kembali berjalan maju ketika dia terjatuh juga kehilangan arah.
KOMENTAR ANDA