JIKA kita ingin mengukur sejauh mana syahadat kita meneguhkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya, kita bisa lebih dulu menghayati kisah Bilal bin Rabah dan azan terakhirnya.
“Biarkan aku menjadi muadzin Rasulullah saja.”
Kalimat itulah yang diucapkan Bilal bin Rabah dengan hati pilu dan sendu saat Khalifah Abu Bakar memintanya menjadi muadzin.
Bilal memang bertekad tidak akan mau mengumandangkan azan selepas wafatnya Rasulullah saw. Dia tidak mau menjadi muadzin bagi siapa pun selain Muhammad. Dan Abu Bakar menghormati keputusan Bilal.
Kepedihan hati akibat ditinggal pergi selamanya oleh Rasulullah mengendap di dasar hati Bilal. Ia tak sanggup pergi ke masjid yang letaknya bersebelahan dengan rumah Rasul, yang di dalamnya terdapat makam Rasulullah.
Maka Bilal pindah lalu menetap di Syria. Tahun demi tahun berlalu tanpa sekali pun ia mengunjungi Madinah.
Hingga suatu malam Baginda Nabi hadir dalam mimpinya. Nabi bertanya mengapa Bilal selama ini tak pernah mengunjunginya. Bilal bangun dari tidur dengan sangat terkejut. Ia pun segera menyiapkan perlengkapan untuk pergi ke Madinah.
Sesampainya di makam Rasulullah, Bilal menangis tersedu-sedu seolah melepaskan kerinduan yang teramat menyesakkan dada. Hingga datanglah dua pemuda menghampirinya, Hasan dan Husein. Penuh haru, Bilal memeluk keduanya.
Salah satu di antara cucu Nabi itu meminta Bilal mengumandangkan azan untuk mengenang kakek tercinta. Saat itu, Umar bin Khathab yang menjabat sebagai khalifah juga memintanya untuk menjadi muadzin. Bilal pun menyanggupi.
Bilal teringat bagaimana dulu, di masa Rasul masih hidup, ia selalu datang lebih awal ke masjid untuk bersiap mengumandangkan azan.
Dan ketika Bilal mengumandangkan azan, kota Madinah mendadak senyap. Semua aktivitas terhenti. Orang-orang merinding mendengarkan suara merdu yang memanggil mereka untuk salat. Suara yang sudah bertahun-tahun menghilang dari Madinah. Suara Bilal yang begitu mereka rindukan.
Ketika Bilal membaca syahadat tauhid, orang-orang berlarian mendatangi suara azan. Kemudian saat Bilal melafalkan “asyhadu anna muhammadan rasulullah”, pecahlah tangis dan ratapan memilukan penduduk Madinah. Khalifah Umarlah yang menangis paling keras. Mereka teringat masa-masa indah bersama Rasulullah.
Bagaimana dengan Bilal?
Lidahnya tercekat karena air mata yang berderai tanpa henti. Ia pun tak kuasa meneruskan azannya hingga selesai. Dan itulah azan Bilal bin Rabah yang pertama sekaligus yang terakhir sepeninggal Rasulullah.
Lantas, bagaimana dengan kita?
Seberapa kuat syahadat menghadirkan Allah dan RasulNya di hati kita? Seberapa besar kerinduan kita kepada Rasulullah? Sudahkah kita menghayati syahadat kita dengan menjadi Mukmin dan Muslim yang istiqamah?
Jangan sampai kita menganggap syahadat hanyalah penggalan bacaan tahiyat dalam salat. Karena kita merasa tak pernah mengikrarkan syahadat layaknya mualaf yang baru memeluk Islam. Kita hanya tahu, kita memeluk Islam sejak kita dilahirkan. Jangan sampai syahadat tidak terasa ‘gaung’nya di lubuk hati kita.
Merenunglah sejenak untuk melihat betapa nikmat Islam yang kita peluk dari lahir itu telah membawa kita pada titik kehidupan kita sekarang ini. Tanpa kita sadari, nikmat Islam telah kita nikmati selama puluhan tahun dalam bentuk rezeki, keluarga, jodoh, ketenangan, keselamatan dari berbagai bencana dan mara bahaya, juga kesehatan.
Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?
Mari menghayati syahadatain di sisa umur kita. Biarkan maknanya senantiasa menggetarkan hati. Agar kita senantiasa merasakan cinta yang dahsyat kepada Ilahi Rabbi dan kerinduan mendalam kepada Baginda Nabi seperti yang terlukis dalam azan terakhir Bilal bin Rabah.
KOMENTAR ANDA