DI DALAM kisah Wayang Purwa kerap tersirat dan tersurat ihwal aritmetika alias ilmu hitung. Misalnya pada kuku Anoman dan Werkudara yang disebut sebagai Pancanaka.
Pancanaka
Panca adalah sebutan aritmetika dalam bahasa Sanskrit untuk angka lima dalam bahasa Indonesia. Sementara “naka” adalah tujuan, maka Pancanaka dapat dimaknakan sebagai lima tujuan hidup yang terdiri dari lima pengendalian terhadap nafsu membunuh, nafsu seksual, nafsu keduniawian, nafsu kekuasaan serta nafsu merugikan orang lain. Bisa juga ditafsirkan sebagai lima hawa sakti di dalam diri setiap insan manusia yaitu prana, apana, samana, udana, dan vyana.
Kuku Pancanaka adalah pusaka pamungkas untuk mengalahkan kejahatan sebagai musuh kebenaran dengan menggenggamkan seluruh jari di kedua tangan seerat mungkin sambil menonjolkan kedua ibu jari sebagai pemusatan pikiran dan kesadaran akan lima kekuatan hawa sakti.
Pancasona
Pancasona adalah sebuah kesaktian dahsyat yang semula dimiliki Subali namun kemudian secara curang berhasil dimiliki oleh Rahwana. Aji Pancasona merupakan suatu kesaktian memstahilkan insan yang memilikinya untuk dibinasakan, bahkan menjadi makin sakti mandraguna setelah tubuh menyentuh tanah.
Di samping Pancasona, Rahwana juga memiliki aji Rawarontek melipatgandakan daya kesaktian Rahwana sehingga tak tertandingi oleh manusia mau pun dewa.
Hanya panah sakti Sri Rama, Kiai Danu yang bisa berbicara itu yang berhasil menaklukkan Rahwana dengan tidak membunuh, tapi terus-menerus menyayat kulit dan daging sambil mencaci-maki sehingga lahir batin Rahwana luar biasa menderita akibat rasa sakit dan rasa jengkel tanpa bisa mati, sebab terlanjur memiliki Pancasona plus Rawarontek. Kandungan falsafah Pancasona pada hakikatnya sama dengan Pancanaka.
100 Kurawa
Jumlah Kurawa yang genap seratus merupakan bukti bahwa Wayang Purwa mengutamakan aritmetika. Kerap diperdebatkan apakah Dursilawati termasuk dalam 100 Kurawa. Apabila tidak, maka jumlah Kurawa bukan 100 tetapi 101. Angka 101 mirip angka dongeng 1001 Malam yang berasal dari kebudayaan Arab.
Sama halnya dengan Pandawa Lima yang berjumlah lima (tanpa menghitung putra sulung Dewi Kunthi dari Batara Surya sebagai bagian dari Pandawa) juga merupakan fakta bahwa aritmetika memang berperan di dalam kisah-kisah Wayang Purwa.
Jumlah Punakawan adalah empat yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong di samping dua yang terdiri dari Togog dan Bilung sementara 4:2= 2. Namun di sisi lain, bentuk dagu bawah Cakil yang memanjang ke depan lebih cenderung geometris ketimbang aritmatis.
Keadilan Yudhistira
Aritmetika merupakan pertimbangan utama Yudhistira ketika menghadapi pertanyaan Batara Yama tentang siapa di antara empat saudara Yudhistira yang semuanya tewas akibat nekat minum air dari telaga (dalam versi Mahabharata disebut sebagai sungai Yamuna) yang diinginkan Yudhistira untuk dihidupkan kembali oleh Batara Yama.
Yudhistira meyakini bahwa keadilan lebih bisa dicapai melalui Aritmetika yang bisa diukur kebenarannya ketimbang hukum yang mustahil diukur kebenarannya. Berdasar fakta bahwa putra Kunthi berjumlah tiga sementara putra Madrim berjumlah dua, maka andaikata yang dihidupkan adalah Bima atau Arjuna, maka jumlah putra Kunthi yang hidup berjumlah dua yaitu Yudhistira plus Bima atau Arjuna, sementara putra Madrim yang hidup adalah nol alias nihil.
Demi keadilan aritmatis, Yudhistira memilih Nakula yang dihidupkan kembali agar putra Kunthi dan putra Madrim sama-sama berjumlah satu orang yaitu Yudhistira dan Nakula. Kagum atas kearifan keadilan Aritmetika Yudhistira, maka Batara Yama menghidupkan segenap empat saudara Yudhistira. Meski sebenarnya masih bisa lanjut diperdebatkan mengenai apakah jumlah tiga putra Kunthi adalah adil bagi Madrim yang cuma berputra dua.
Sementara baik Kunthi mau pun Madrim sendiri sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya. Apabila titian serambut ingin dibelah tujuhkomatujuhpuluhtujuh, maka bisa juga dipertanyakan alasanologinya mengenai kenapa Madrim bukan Kunthi yang ikut mati obong ketika konon Pandu wafat akibat konon kena kutukan pasangan begawan-begawati yang konon menyamar menjadi kijang lalu konon dipanah mati oleh Pandu sebab keliru disangka sebagai dua kijang.
Penulis sempat nyantrik pada Ki Nartosabdho demi mempelajari falsafah Wayang Purwa
KOMENTAR ANDA