Memaafkan adalah sebuah bentuk jihad karena lebih berat dilakukan daripada meminta maaf. Karena itulah, hanya orang-orang berjiwa besar yang memiliki kemampuan memaafkan/ Foto: Ilustrasi Net
Memaafkan adalah sebuah bentuk jihad karena lebih berat dilakukan daripada meminta maaf. Karena itulah, hanya orang-orang berjiwa besar yang memiliki kemampuan memaafkan/ Foto: Ilustrasi Net
KOMENTAR

KETIKA kenyataan yang dihadapi melenceng jauh dari ekspektasi yang terlanjur terbayang dalam pikiran, kita pun merasa kecewa. Hal yang manusiawi. Di tengah urusan dunia yang fana dan tidak sempurna ini, kekecewaan sudah pasti akan terus menghampiri jika kita tidak mampu menyikapi hidup dengan bijak.

Siapa pun bisa kecewa. Orangtua kecewa pada anaknya, atau sebaliknya. Suami kecewa pada istrinya, atau sebaliknya. Guru kecewa pada muridnya, atau sebaliknya. Atasan kecewa pada bawahannya, atau sebaliknya.

Memang betul, merasa kecewa adalah manusiawi. Pertanyaannya adalah, apakah kita harus merasa kecewa sepanjang hidup kita di dunia? Bukankah hidup terlalu singkat jika hanya diisi kekecewaan dan sakit hati?

Urusan dunia tidak akan ada habisnya. Kita harus menyadari bahwa banyak urusan dunia yang tidak hanya melibatkan diri sendiri melainkan juga orang lain. Karena itulah, kita tidak bisa menjamin kita akan selalu sukses dengan mulus meraih apa yang kita inginkan.

Ada pemikiran orang lain yang tidak selalu sejalan dengan pikiran kita. Ada kapabilitas orang lain yang belum tentu sama dengan apa yang kita perkirakan. Karena itulah kita tidak boleh terlalu menyandarkan diri kita kepada orang lain karena risiko kecewa pasti akan mengintai.

Kekecewaan, dampaknya bisa terasa besar atau kecil, tergantung bagaimana kita menghadapinya. Ada orang yang saking kecewanya bisa mengatakan “saya bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan”.

Nabi Muhammad saw. pernah mengatakan bahwa memaafkan adalah sebuah bentuk jihad karena lebih berat dilakukan daripada meminta maaf. Karena itulah, hanya orang-orang berjiwa besar yang memiliki kemampuan memaafkan.

Tapi jika kemudian orang tersebut tidak mampu melupakan kekecewaannya lalu melampiaskan kekecewaannya ke banyak orang, apakah dia sudah memaafkan dengan tulus? Apakah itu bukan pertanda memaafkan hanya di bibir saja, tapi tidak di hati?

“...Karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Qur’an. Sesungguhnya (Al Qur’an) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.” (QS. Hud: 17)

Renungkanlah ayat tersebut.

Bila kecewa, obat terbaik adalah mengadu kepada Yang Tidak Pernah Mengecewakan kita.

Dalam melangkah, kita sering lupa bahwa Allah telah memberikan pedomannya yaitu Qur’an. Kita seolah membedakan jalan kehidupan kita sehari-hari dengan membaca Qur’an sebagai sebuah ritual. Padahal isi Qur’anlah yang mampu menyemangati sekaligus menenangkan hati kita.

Ketika kita dikecewakan orang lain atau mengecewakan orang lain, jangan sampai kita terpuruk. Ingatlah bahwa setelah kesulitan akan ada kemudahan (QS. Al-Insyirah ayat 5 dan 6). Ketika kekecewaan membuat kita terombang-ambing, ingatlah selalu bahwa Allah tidak akan membebankan sesuatu kepada hambaNya kecuali sesuai kemampuannya (QS. Al-Baqarah ayat 286).

Pun jika kita tiba-tiba merasa hidup telah menjelma menjadi sebuah kesalahan besar dan semua orang telah mengecewakan kita, Allah meminta kita untuk mengingatNya agar hati kita menjadi tenang.

“...Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’ad: 28)

Rasa kecewa hanya akan menghancurkan hidup kita. Maka yang harus kita lakukan adalah secepatnya bangkit dari kekecewaan. Cukuplah menyesal, menangis, dan memaki. Jangan ‘manjakan’ diri dengan selalu merasa menjadi korban hingga kita tak bisa melupakan apa yang terjadi. Tidak bisa move on.

Jangan sampai kekecewaan berubah menjadi benci dan amarah. Jangan biarkan rasa kecewa menggerogoti diri kita hingga kita kehilangan arah untuk melangkah maju. Camkan selalu di hati bahwa setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan dalam hidupnya. Tapi semua orang juga berhak atas kesempatan memperbaiki diri.

Jika seseorang pernah mengecewakan kita, semoga kita bisa memahami alasannya melakukan itu. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi kita menerima kenyataan. Jika kita merasa dia berulang kali mengecewakan kita, bolehlah kita mengatakan tidak. Berhenti bekerja sama untuk urusan yang sama. Menjaga jarak tapi bukan memutus ikatan. Kita bisa melihat dari jauh apakah dia bisa berubah atau tidak.

Mengapa kita harus berupaya berbesar hati menyikapi kekecewaan? Karena bayangkanlah jika ternyata kita yang mengecewakan orang lain. Kita tentu ingin orang lain melihat kita bisa berubah menjadi lebih baik. Kita ingin orang tersebut melihat kita mampu membayar kekecewaannya. Walau kita merasa sulit meyakinkan orang tersebut, yakinlah bahwa Allah meridhai jerih payah kita.

Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya.” (QS. Al-Zalzalah: 7)

Mengelola kekecewaan atau memperbaiki kesalahan kita adalah kebaikan yang harus selalu kita upayakan dalam hidup ini. Sekali pun berat, tapi setiap upaya kita insya Allah akan mendapat balasan dari Allah. Kita tidak boleh berputus asa dari kasih sayang Allah. Semoga kita selalu mampu memaafkan dan melupakan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur