BERLAMA-LAMA di kamar mandi, berlama-berlama di depan cermin, berlama-lama memilih pakaian, berlama-lama menyisir rambut. Di dalam hatinya bisa jadi sedang terdengar bait lagu Coboy Junior yang kini dipopulerkan kembali Armand Maulana: Mungkin...inilah rasanya...cinta pada pandang pertama...senyuman manismu itu buat aku dag dig dug melulu...
Cinta monyet, begitu orangtua menyebut rasa suka pada lawan jenis yang tumbuh di usia belasan tahun.
Istilah yang populer di era 60 hingga 80an ini banyak digunakan para orangtua, guru, psikolog, hingga seniman untuk memotret kehidupan percintaan remaja masa itu. Meskipun usia belasan tahun dianggap belum pantas untuk memiliki kekasih, tapi pengaruh budaya luar lewat film bioskop membuat banyak remaja kala itu mulai berani berpacaran.
Cinta monyet, bisa diartikan sebagai cinta sesaat, cinta yang belum sempurna karena orang yang merasakannya pun masih dalam masa pertumbuhan secara pemikiran maupun fisik. Cinta jenis ini dianalogikan ke monyet karena hewan ini selalu terlihat malu-malu meski ingin tahu. Tak heran bila anak kerap sembunyi-sembunyi untuk bertemu dengan pujaan hatinya.
Remaja kala itu memilih mengungkapkan perasaan lewat surat. Jauh berbeda dengan remaja zaman now yang begitu gamblang mengumbar cinta monyet di media sosial.
Cinta yang berbunga di pandangan pertama ini bukan cinta sejati yang abadi. Cinta ini bisa dengan mudah menghilang manakala seorang remaja pindah sekolah lalu bertemu siswa lain yang lebih ganteng atau cantik. Inilah yang membuat kita—orangtua—mengelus dada kala membaca di media sosial ada anak belasan tahun saling memanggil dengan sebutan “ayah-bunda” dengan pujaan hatinya.
Lebih miris lagi, saat ini cinta monyet bahkan sudah dirasakan anak-anak usia SD. Ya, banyaknya paparan kehidupan percintaan yang makin gencar di internet menjadi satu faktor yang menyebabkan anak-anak mengalami pubertas dini. Hal tersebut benar-benar membutuhkan pengawasan yang lebih berkualitas dari orangtua.
Bijak Mengenalkan Apa Kata Islam
Sebagai Muslim, adalah kewajiban kita untuk menjelaskan aturan Islam yang tidak memperkenankan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum pernikahan (baca: pacaran).
Yang harus diperhatikan adalah bagaimana kita memilih kata-kata yang tepat yang mudah dipahami dan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Untuk mendukung dalil-dalil agama, kita juga dapat memberi penjelasan ilmiah sederhana tentang dampak bersentuhan dengan lawan jenis yang sangat sulit dihindari dalam berpacaran.
Sebuah hasil penelitian di University of St. Andrew, Inggris yang dipublikasikan di LiveScience pada 29 Mei 2012 menyebutkan bahwa suhu kulit tubuh perempuan akan meningkat khususnya di bagian wajah dan dada saat disentuh oleh lawan jenis. Sentuhan tersebut melahirkan gerakan pada otak, kemaluan, dan menimbulkan nafsu.
Dan kita tahu bahwa melawan nafsu syahwat bukan perkara mudah, baik untuk perempuan apalagi laki-laki.
Berawal dari hanya berpegangan tangan, saling menyentuh, lalu akan sulit untuk mengerem perbuatan lainnya. Gaya berpacaran anak zaman now yang sedemikian mahir meniru perilaku remaja barat menjadi mimpi buruk bagi orangtua.
Karena itulah, bekal pendidikan agama harus selalu menjadi ruh parenting di rumah kita. Sejak dini, kita menanamkan kepada anak perempuan kita bagaimana menjaga kemuliaan dan harga dirinya. Kita juga menanamkan kepada anak laki-laki kita pentingnya menghargai dan memuliakan perempuan. Penanaman nilai-nilai tersebut tentu saja harus diaplikasikan dalam keseharian, terutama oleh kita—para orangtua.
Orangtua sebagai uswah hasanah (suri teladan) bagi anak harus menjadi contoh nyata bagaimana memelihara akhlak seorang Muslim. Anak melihat bagaimana ayah bersikap pada bunda dan sebaliknya. Bagaimana ayah bersikap kepada teman-teman perempuan di kantornya, atau bagaimana bunda bertingkah laku di hadapan teman-teman laki-laki ayah saat family gathering.
Kita juga jangan terjebak dengan istilah “pacaran islami”, istilah yang biasanya diidentikkan dengan pacaran ‘normal’ atau tidak kelewat batas yang tidak mengizinkan pergi berduaan. Atau kita mengizinkan buah hati kita memiliki pacar dengan alasan membuatnya jadi lebih bersemangat sekolah.
Ada banyak hal positif selain pacaran yang bisa melecutkan semangat anak untuk belajar. Yakinkan anak bahwa berteman jauh lebih menyenangkan daripada membuang waktu percuma untuk pacaran. Selain menyebutkan mudharatnya dalam agama, jangan lupa mengingatkan betapa tidak enaknya sakit hati jika cinta monyet harus berakhir.
3 Tips Mendidik Anak Beranjak Remaja
Menurut Galuh Setia Winahyu, S.Psi., M.Psi., Psikolog, memiliki anak ABG memang memiliki tantangan tersendiri. Mulai dengan adanya perubahan-perubahan fisik yang terjadi sampai pada perubahan psikologis. Dari pengaruh hormon hingga pengaruh teman sebaya. “Karena itu orangtua harus pintar-pintar menyikapinya. Termasuk menyikapi cinta monyet,” ungkap psikolog Galuh.
Tiga hal berikut ini merupakan konsep yang bisa dijalankan para orangtua untuk mengawal para ABG menjalani masa peralihan dalam hidup mereka.
#Berperan sebagai teman
Di masa pubertas ada pola pergerakan remaja yaitu saat mereka bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya. Sehingga anak-anak kita ini lebih bisa menerima konformitas dibanding aturan. Mereka lebih menyukai diskusi dan negosiasi dibanding perintah atau larangan.
Ada baiknya kita sebagai orangtua berperan sebagai teman dengan mendengarkan ceritanya dan menanggapi dengan tenang dan positif. Ini kunci awal dari komunikasi terbuka dengan ABG.
#Mendiskusikan berbagai nilai dan norma
Ajaklah anak berdiskusi tentang apa yang dimaksud dengan cinta, apa sebetulnya yang dirasakan, dan apa yg diharapkan. Dari sini, kita bisa memberikan arahan mengenai cinta monyet yang mereka rasakan, juga tentang batasan-batasan. Bisa disampaikan alasan mengapa bisa muncul perasaan seperti itu antara laki-laki dan perempuan dan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berinteraksi. Tanamkan value pada anak-anak dengan penjelasan sebab akibat sehingga mereka dapat menerima dengan baik.
#Ajak anak mengelola prioritas
Bagaimanapun juga, ABG masih dalam usia sekolah dan dalam tahapan persiapan karir mereka. Karena itulah, ajak mereka untuk lebih banyak beraktifitas sesuai minat bakatnya dan terutama selalu mengutamakan pendidikan.
Tiga konsep yang dijelaskan psikolog Galuh di atas bisa menjadi guidance untuk kita menyikapi berbagai permasalahan anak beranjak remaja, salah satunya cinta monyet.
KOMENTAR ANDA