Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MANUSIA harus memahami bahwa kedudukan sebagai makhluk membuatnya tidak bisa mewujudkan semua keinginan, harapan, dan impian.

Ada di antara kita yang sudah merasa bekerja sangat keras namun tidak juga berhasil meraih kehidupan layak yang diidamkan. Ada yang merasa sudah berlatih keras, tapi gagal meraih kemenangan. Ada yang sudah siap menyebarkan undangan pernikahan, namun sang pujaan hati meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat.

Ada yang bisa menerima kenyataan, ada yang tidak sanggup menghadapi takdirnya.
Termasuk ketika Allah Swt. tak jua menganugerahi keturunan kepada pasangan suami istri. Satu tahun, lima tahun, hingga satu dekade berlalu, belum juga ada tanda-tanda si jabang bayi hadir dalam rahim.

Sementara tak ada hari berlalu tanpa doa dipanjatkan untuk memiliki buah hati yang kelak menjadi qurrata a’yun. Pun, segala usaha dilakukan. Mulai dari terapi herbal hingga terapi medis berteknologi canggih. Namun belum juga menghadirkan buah hati yang menjadi dambaan hati.

Tidak ada seorang pun yang bisa menjamin semua itu mudah dilakukan. Dibutuhkan banyak waktu, energi, dan biaya untuk menjalani ikhtiar demi ikhtiar. Bukan satu dua kali tubuh terasa lunglai, bukan satu dua kali pikiran terasa lelah. Tak terhitung sudah berapa kali air mata mengalir ketika harus gagal dan kembali gagal.

Hingga akhirnya pengalaman hidup memunculkan kepasrahan dan keikhlasan.
Saat hati mulai mengikhlaskan, setiap usaha yang kita lakukan menjadi penuh makna. Kita menghayati setiap peluh dari ikhtiar kita. Kita memaknainya sebagai perjuangan.

Bukan sekadar ‘kejar target’ demi memenuhi ambisi memiliki anak. Kita berjuang dan kita menyempurnakan perjuangan kita dengan doa tulus kepada Sang Maha Pemilik Hidup.

Ketika keikhlasan hadir, perlahan senyum pun mengembang. Tak ada lagi rasa marah manakala orang bertanya “kapan”. Kita mengamini setiap doa dan harapan keluarga, sanak saudara, dan sahabat. Kita tak lagi menutup diri, tapi lebih memperbaiki diri.

Mari kita mengingat kembali apa yang terjadi bertahun-tahun ini.

Jangan-jangan, keinginan kita untuk memiliki anak telah menjauhkan kita dari Allah. Kita bersedia menempuh berbagai cara untuk punya momongan tapi tidak bersedia bertafakur atas ketentuan Allah yang terjadi pada kita.

Daripada kita terlalu banyak bertanya, “Ya Rabb, mengapa belum juga kau hadirkan si kecil untuk melengkapi rumah tangga kami?” akan lebih bijak bila kita menyisihkan banyak waktu menata diri untuk menjadi hamba yang berilmu dan berakhlak. Tidak bosan mengisi diri dengan ilmu agar kita siap menjadi orangtua, kapan pun itu.

Kita bisa menengok kanan dan kiri, betapa pengasuhan anak—terutama di zaman sekarang—sungguh bukan perkara mudah. Dibutuhkan militansi dan determinasi tanpa henti untuk bisa membentuk anak menjadi anak saleh yang bisa menjadi sumber kebahagiaan orangtuanya di dunia dan di akhirat.

Sanggupkah kita memikul tanggung jawab sebagai orangtua?
Kita akan menjawab “pasti bisa” karena meyakini bahwa semua perempuan terlahir dengan fitrah sebagai ibu. Tapi apakah kita tahu, seorang ibu bisa saja merawat anak, membesarkannya, memproteksinya, tapi belum tentu bisa menjadikan anaknya bermanfaat bagi lingkungannya.

Ibu bisa memanjakan anak dengan berbagai fasilitas dan kemewahan dengan alasan membahagiakan anak, membolehkan anak melakukan berbagai kegiatan dengan alasan demi menyalurkan hobi, tapi belum tentu sanggup menjaga cahaya hidayah dalam hati si buah hati.

Mari kita menengok mereka yang kekurangan di dunia ini tapi selalu sabar dan tegar menjalaninya.

Ada kemiskinan yang membawa ‘tuan’nya justru menjadi ahli syukur dan ahli takwa. Kemiskinan yang justru disyukuri karena melapangkan jalannya menuju surga. Karena malaikat tidak akan menanyakan dari mana asal hartanya dan dipergunakan untuk apa saja hartanya.

Tak berbeda dengan memiliki anak di dunia. Anak bisa menjadi pelapang jalan kita ke surga atau sebaliknya menjadi ujian bagi orangtua di dunia dan di akhirat. Tugas berat sebagai orangtua harus dipikul sejak ibu mengandung hingga ibu menutup mata.

Anak adalah “harta” yang akan diminta pertanggungjawaban kelak di hari perhitungan amal. Anak adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pemberi Amanah.

Manusia harus memahami bahwa kedudukan sebagai makhluk membuatnya tidak bisa mewujudkan semua keinginan, harapan, dan impian.

Jangan sampai kita enggan bersyukur hanya karena satu keinginan kita belum juga terkabul. Lautan nikmatNya begitu luas, tinggal bagaimana kita mengisi hidup dan memanfaatkannya untuk meraih kebahagiaan.

Mari memaknai dan meniru jejak keikhlasan Dewi Sandra dan Dhini Aminarti. Dua hamba Allah yang berusaha semakin taat dan menginspirasi banyak perempuan meski hidup mereka (dipandang sebagian orang) masih belum sempurna.

 

 

 




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women