SEMASA gadis dahulunya, Shalimar (nama samaran) dihadapkan dengan pilihan amat pelik, di antara dua lelaki yang sama-sama berkualitas jempolan. Bagaimana tidak pusing, baik Abdi maupun Tulus (nama samara juga) sama-sama memiliki karakter baik, budi pekerti luhur dan enak dipandang mata.
Seiring dengan istikarah panjangnya, Shalimar pun memutuskan menikah dengan Abdi. Dia mengabaikan kelebihan harta yang dimiliki Tulus, yang memang seorang pengusaha kaya raya.
Lagi pula Shalimar memang pebisnis mapan, dirinya tak lagi tergoda dengan harta benda. Abdi juga punya pesona tersendiri, dia jebolan perguruan tinggi agama dan berkiprah di medan dakwah. Dengan menikahi seorang ustad, Shalimar ingin belajar agama dan mendapatkan pahala dari amal suaminya. Dia ingin menjadi seperti Khadijah.
Beberapa tahun pernikahan, Shalimar tidak menemukan sifat tercela pada diri Abdi. Tetapi ada yang luput dari perhitungannya menjelang perkawinan. Ternyata pernikahan itu bukan hanya jalinan dua insan, melainkan juga dengan pihak keluarganya. Dia harus mempertebal kesabaran, karena tiap sebentar sanak keluarga suami berdatangan, menadahkan tangan meminta bantuan. Sekali dua kali tidak masalah, tetapi mereka datangnya berkelanjutan. Baginya, keluarga suami telah menjadi "kapal keruk".
Dia menyadari memang tidak mudah menjadi sosok Khadijah. Pertengkaran demi pertengkaran akhirnya meletus, apalagi Abdi memandang taat pada apapun kehendak orangtuanya tidak boleh ditawar lagi. Sementara ibu mertuanya merupakan lakon utama dari aksi bak kapal keruk tersebut.
Panasnya suhu rumah tangga membuat Shalimar terlempar kepada kenangan lama. Apalagi Tulus juga menemukan pernikahannya bagaikan neraka. Dia menikahi perempuan yang berhati srigala dan sedang menuju episode perceraian.
Bak gayung bersambut, Shalimar menemukan Tulus sebagai pelabuhan hatinya. Tanpa bermaksud menyesali masa lalu, Shalimar pun menyiapkan agenda perpisahan dengan suaminya. Namun, dirinya masih galau melihat lima bocah buah dari pernikahan.
Pilihan yang tanpa risiko itu tentulah sesuatu yang mustahil dalam kehidupan. Ingatlah, kita sedang berada di dunia, bukan di surga. Kalau mengharapkan kesempurnaan di dunia, maka kita akan terus menerus kecewa. Tidak akan ada seorang pun yang benar-benar mampu membahagiakan diri kita, karena kebahagiaan itu tumbuh dari rasa sabar dan syukur yang bersemi di hati masing-masing.
Dalam ilmu manajemen juga dikaji tentang manajemen risiko, karena mana ada urusan yang bebas dari risiko. Hinsa Siahaan menerangkan pada bukunya Manajemen Risiko Pada Perusahaan & Birokrasi bahwa risiko adalah sama dengan ketidakpastian (uncertainty) akan terjadinya suatu kejadian yang menimbulkan masalah, dan peluang bagi organisasi perusahaan, pemerintah, dan perorangan dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor uncertainty itulah yang sering luput dari persiapan diri kita. Padahal hal-hal tidak terduga itu dapat hadir mendadak, yang mana dibutuhkan kesiapan mental nan prima. Meskipun uncertainty itu mengagetkan, bukan berarti kita tidak akan mampu menghadapinya.
Di semua lapisan kehidupan, risiko itu senantiasa ada di antara dua pilihan. Pemerintah juga dihadapkan dengan dua pilihan yang berat; membuka New Normal berisiko meningkatnya korban Covid-19, tapi kalau tidak ada New Normal ada risiko ekonomi yang hancur. Bagi Shalimar terbentang pula dua pilihan pahit; jika bercerai akan menghancurkan hati anak-anak, tapi kalau pernikahan tetap berlanjut justru hatinya yang hancur.
Tukang bakso juga menghadapi dua pilihan memilukan; apabila jualan berkeliling bisa mati diterkam virus Corona, jika dia bertahan di rumah tidak sanggup melihat anak istri yang terancam mati kelaparan. Tinggal di pegunungan dapat pemandangan bagus, tetapi sulit mendapatkan air. Tinggal di tepian sungai begitu melimpah persediaan air, tetapi ada risiko kebanjiran. Nah!
Sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, maka Rasulullah memberikan petunjuk, apabila dihadapkan dengan dua pilihan maka jatuhkanlah pilihan kepada yang paling ringan risikonya. Secara manusiawi kita akan lebih percaya diri ketika dihadapkan dengan sesuatu yang tampak mudah.
Sebagaimana hadis yang tercantum pada kitab Riyadush Shalihin, dari Aisyah, dia berkata, “Apabila Rasulullah disuruh untuk memilih dua hal, beliau pasti memilih yang lebih mudah, selama tidak berdosa, beliau pasti menjauhinya. Dan beliau tidak pernah memuntut balas untuk dirinya, kecuali jika kehormatan Allah dilanggar, maka beliau menuntut balas demi Allah.” (Hadis Riwayat Muttafaq Alaih)
Nabi Muhammad pun tidak terbebas dari pilihan-pilihan sulit dalam hidupnya. Namun beliau memakai rumus yang tegas; memilih risiko yang paling mudah. Rumus itu pula yang ditanamkannya kepada seluruh keluarga. Sebagaimana istri-istri beliau pernah unjuk rasa menuntut peningkatan kesejahteraan biaya belanja.
Bukan perkara mampu atau tidak, tetapi Rasulullah harus tegak di atas prinsip kebenaran. Sebagai pemimpin umat, Nabi Muhammad haruslah memberi teladan kehidupan yang sederhana. Atas bimbingan Allah, maka beliau memberikan dua; tetap menjadi istri Rasulullah yang hidupnya sederhana atau bercerai baik-baik.
Para istri kompak memilih tetap menjadi pendamping beliau, karena membayangkan perceraian saja sangat mengerikan bagi mereka yang mendamba keberkahan dunia akhirat. Tentang anggaran belanja dapat mereka akali, tetapi kehilangan status sebagai istri Rasulullah tentunya amat merugikan.
Oleh sebab itu, silahkan pilih risiko yang paling ringan untuk diselesaikan? Namun, jangan lupa untuk jujurlah mengukur kemampuan diri. Kita hanyalah manusia yang punya keterbatasan. Dengan sikap jujur pada diri sendiri, insyaallah kita akan mampu menjatuhkan pilihan terbaik sekaligus siap dengan risikonya.
KOMENTAR ANDA