Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DIMANAKAH Nabi Muhammad menghabiskan hidupnya?  Ya, tepat sekali. Beliau melalui hayatnya di negeri gurun pasir yang panas dan tandus. Di tempat yang gersang itu berkeliaran manusia-manusia keras kepala yang liar bahkan brutal. Dan beliau hidup berdampingan dengan mereka sepanjang nafasnya.

Sebetulnya banyak alasan yang membuat para manusia gurun pasir menjelma menjadi pemarah; suhu gurun yang panas ekstrim membuat darah gampang mendidih, tanahnya yang tandus sehingga susah mencari makanan, kehidupan yang keras melahirkan berbagai aksi kejahatan. Ajaibnya, mengapa Rasulullah malahan tampil sebagai manusia yang amat penyabar? Kok bisa?

Lantas di manakah saat ini kita hidup? Ya, kita menghirup segarnya udara bumi Khatulistiwa. Di mana tidak ada panas yang terlalu, dan tidak ada dingin yang terlalu. Kehangatan cuacanya berbanding lurus dengan kehangatan manusianya. Negeri ini pun subur makmur. Tetapi, mengapa kini manusianya justru menjadi gampang pemarah?

Intinya pengendalian diri. Di negeri yang panas, Rasulullah menampilkan karakter yang sejuk. Karena beliau tidak terpengaruh dengan lingkungan, tetapi memberi efek positif bagi masyarakat sekitarnya. Apakah Rasulullah sama sekali tidak pernah marah? Tentu bukanlah demikian.

Beliau pun manusia yang dapat marah, sebab sama dengan manusia lainnya, pada diri beliau juga terdapat al-quwwah ghadabiyah (daya amarah).

Haidar Putra Daulay dan Nurgaya Pasa pada bukunya Pendidikan Islam Dalam Lintasan Sejarah menerangkan di antara buah pikiran al-Kindi (filosof muslim-red) adalah tentang jiwa atau roh, eksistensinya terpisah dari tubuh tidak tergantung satu sama lainnya.

Menurut beliau, roh atau jiwa terbagi kepada tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah as-Syahwatiyah), daya pemarah (al-quwwah ghadabiyah) dan daya pikir (al-quwwah natiqiyah). 

Adakah yang tidak bisa marah? Tentunya ada, yaitu keledai. Tentunya kita tidak mau dong digolongkan sebagai manusia keledai. Kalau begitu Nabi Muhammad pernah marah dong? Ya, karena beliau adalah manusia normal.

Nah, bagaimanakah marahnya Rasulullah itu? Dalam berbagai hadis diterangkan Nabi Muhammad marah untuk mempertahankan hak-hak Allah dan membela kehormatan agamanya.

Agar kita dapat memahami gambaran kemarahan Nabi Muhammad, maka dapat dilihat dari suatu kejadian yang diceritakan oleh Ali Muhammad Ash-Shallabi pada buku Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2:

Urwah bin Az-Zubair bercerita, ada seorang wanita mencuri di masa Rasulullah. Kaumnya seketika itu juga langsung menghampiri Usamah bin Zaid seraya meminta bantuan kepadanya (agar menghadap Rasulullah dan meminta keringanan hukuman kepada beliau).

Saat Usamah menyampaikan hal itu kepada Rasulullah, muka beliau berubah warnanya lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan terhadap hukum yang telah Allah tetapkan dalam Al-Qur’an?”

Karena yang mencuri itu perempuan bangsawan, maka kaumnya meminta keringanan hukuman. Maka, Nabi Muhammad memperlihatkan kemarahannya, karena mereka mempermainkan hukum Allah. Saking marahnya, orang-orang gentar melihat perubahan di raut wajah beliau. Dan keputusannya tidak berubah, perempuan itu tetap dihukum sesuai aturan.
 
Kalau memang kita merasa sudah saatnya untuk marah, maka perhatikanlah marah yang tepat itu, yaitu; pada orang yang tepat, di saat yang tepat, dengan cara yang tepat dan tujuan yang tepat pula. Apabila mampu memenuhi empat kriteria itu maka bolehlah kita marah.

Pertama itu marah kepada orang yang tepat. Apabila istri kesal dengan suami terkait uang nafkah, maka jangan sampai melampiaskan amarah kepada anak dengan harapan suami tersindir. Akan lebih konyol kalau marah ke suami tetapi dilampiaskan pada anak yang tiada berdaya. Akibatnya suami tidak kunjung paham, kondisi tidak berubah dan tambah satu korban yang tak bersalah, yakni anak.

Kedua, marah di saat yang tepat. Kita tidak bisa sembarang waktu mengungkapkan kemarahan. Kapan waktu terbaik untuk marah? Ya, ketika kita telah mampu mengendalikan kemarahan itu. Kapan waktu terburuk untuk marah? Saat kita dikuasai bahkan sampai gelap mata disebabkan marah. Kesalahan mencari waktu untuk marah dapat memperparah keadaan.

Ketiga, marah dengan cara yang tepat. Kalau kita marah dengan cara menyakiti orang lain, maka yang diperoleh bukannya kebaikan malahan permusuhan. Setiap orang bisa bersalah, dan mungkin membuat kita marah. Namun kalau memang kita ingin marah, pakailah cara yang benar. Jangankan manusia, semut pun akan marah bila kehormatan dirinya terganggu. Apabila atasan marah dengan cara memaki anak buahnya di depan umum, maka sakitnya itu akan tertanam lama, mungkin saja menjadi dendam.

Keempat, marahlah dengan tujuan yang tepat pula. Apabila kita marah dengan tujuan melampiaskan rasa sakit, atau dengan tujuan menghancurkan pihak lain, maka itulah tujuan yang menggiring kita ke jurang kehancuran. Marahlah dengan niat menjaga agar hak-hak Allah agar tidak dilanggar. Itulah kemarahan yang diredai Allah dan Rasulullah.

Sekalipun marah itu diperbolehkan, dengan syarat dan ketentuan berlaku, tetap saja sabar merupakan yang lebih dihargai, diutamakan dan dihormati. Tidak ada orang yang tidak meninggikan derjat manusia yang penyabar.  Kesabaran itu menunjukkan kekuatan iman. Anda kuat, makanya Anda sabar.

Pada buku Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Muhammad Izzuddin Taufiq menerangkan hendaknya setiap individu berpikir berulang kali tentang dampak kemarahan dan mata rantainya yang justru membuatnya menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Komparasikan antara keuntungan dan kerugian bila ia menahan amarahnya dan juga bila ia harus mengungkapkan kemarahannya.

Ada ungkapan mengatakan, kemarahan itu akan berujung kepada penyesalan. Dan penyesalan terbesar tatkala amarah kita justru memperkeruh masalah dan menelan korban yang tiada berdosa. Makanya, selagi hak-hak Allah tidak dicemari, Rasulullah tetap mengedepankan kesabaran.

Islam tidak memberi ruang bagi yang gampang meluapkan emosi apalagi menjelma jadi sosok pemarah. Bahkan amarah itu dapat merusak kualitas iman yang kita bangun dengan susah payah. Karena amarah itu bagaikan api, yang dapat membinasakan apa saja yang dihinggapinya.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur