KOMENTAR

RASA malu adalah perisai. Sebagai makhluk yang kerap berbuat khilaf, malu akan menjaga kita dari perbuatan yang merugikan. Malu akan membentengi kita dari setiap keinginan melakukan sesuatu yang akan mengotori kemuliaan diri.

Kita memang tak bisa berubah sempurna karena memang tak ada manusia bersih tanpa noda. Namun bukan berarti kita terus-menerus membenarkan kesalahan yang kita perbuat dan memaksa orang lain memakluminya.

Kita tetap harus berusaha mengurangi kesalahan kita seiring bertambahnya usia. Apalah makna usia yang semakin tua jika kita belum juga memiliki pemikiran yang makin bijak.

Ketika kita beranjak remaja dan mendewasa, semakin banyak urusan yang kita pikirkan. Jika dulu semasa kecil hanya seputar bermain dan belajar, bertambah dengan urusan hati (memilih pasangan), bagaimana memenuhi kebutuhan hidup, menghadapi persaingan di tempat kerja, hingga keterlibatan kita dalam kehidupan sosial dan komunitas. Ditambah lagi jika kemudian kita menjalani peran sebagai orangtua.

Dalam bersosialisasi, manusia kerap dihadapkan pada dilema.Banyak di antara kita yang bisa menjadi diri mereka sendiri, berani menyuarakan isi kepala mereka, dan bersikap sesuai nilai-nilai yang mereka yakini kebenarannya. Mereka memiliki inner circle yang kuat karena persaudaraan dan persahabatan yang mereka jalin berjalan di atas pemikiran dan minat yang kurang lebih sama.

Uniknya, mereka juga memiliki kedekatan khusus dengan orang-orang yang memiliki karakter berbeda 180 derajat.

Ketika hampir menyerah menghadapi masalah dan seolah berada di jalan buntu, mereka akan mendatangi orang-orang tersebut untuk mencari jalan keluar. Mereka memahami bahwa perspektif yang berbeda dapat membantu memahami diri mereka sendiri sekaligus melihat dunia dari berbagai sudut pandang yang berseberangan dengan mata mereka.

Di sisi lain, tak sedikit pula yang tidak berani tampil apa adanya. Membalut diri dengan pencitraan yang berbeda dengan kata hati. Mereka memilih memiliki sahabat yang bisa menaikkan prestise dan gengsi. Mereka memilih menjadi bagian dari sesuatu yang besar meskipun—deep down inside—mereka memiliki suara hati yang berlawanan.

Mereka memilih menjadi ‘pemain watak’ dalam hidup ini daripada menjadi diri sendiri. Tak heran jika mereka selalu merasa sendiri dalam keramaian. Dan perlahan-lahan, kemunafikan itu sanggup melalap habis jati diri mereka.

“Barangsiapa tidak memiliki rasa malu terhadap manusia, dia tidak memiliki rasa malu terhadap Allah.”(Ali bin Abi Thalib)

Karena rasa malu adalah perisai kehidupan, maka kita tak boleh menanggalkan perisai itu. Rasa malu membuat kita terikat dengan nilai dan sisi kemanusiaan dalam diri kita. Rasa malu pula yang menahan kita agar tidak tercabut dari akar moral dan akhlak yang memandu diri kita.

Ketika kita malu untuk berperilaku buruk di hadapan orang lain, itu menjadi satu bukti menetapnya keimanan dalam hati kita.

Sebaliknya, jika kita mulai terbiasa untuk menipu, memanipulasi, menyuap, merundung, bahkan menjegal, maka kita sudah mengikis sedikit demi sedikit rasa malu yang kita punya. Ikut-ikutan atas nama solidaritas yang tak punya pijakan moral dan kebajikan. Dan jika kelak kita sudah tak ragu lagi mengerjakan kemaksiatan dan kejahatan, kita sudah kehilangan rasa malu kita kepada Sang Khalik.

Bayangkan jika kita lebih takut kehilangan popularitas, kehilangan ‘sahabat’, dan kehilangan kemilau dunia daripada kehilangan rasa malu kepada Allah. Na’udzubillah.

Bagaimana mungkin kita bisa membela diri dari siksa neraka di akhirat kelak?
Marilah menjadi pribadi yang yakin pada diri sendiri dan yakin pada Sang Pemilik Alam Semesta yang akan melindungi kita dari segala bentuk kezaliman. Jadilah versi terbaik diri kita dengan memelihara malu.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur