ANAK yang beranjak remaja dituntut untuk mulai mandiri dalam mengambil keputusan. Mulai dari menentukan jurusan, ekstra kurikuler, komunitas, hingga memilih lingkungan pertemanan yang sehat dan suportif.
Ada satu hal yang harus dicermati baik-baik saat anak beranjak remaja yaitu konformitas. Dalam ilmu psikologi, konformitas diartikan sebagai suatu jenis pengaruh sosial ketika individu mengubah sikap dan tingkah laku agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Konformitas juga diartikan sebagai proses penyesuaian diri yang dilakukan individu terhadap norma-norma kelompok juga sebagai suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai norma sosial.
Kita mungkin bisa menyebut “latah” atau “ikut-ikutan” untuk menyederhanakan istilah konformitas yang masih asing di telinga.
Misalnya, kita tiba-tiba mendengar anak menyetel keras-keras lagu rock padahal selama ini dia menyukai lagu pop yang ringan. Atau jika biasanya anak suka mengenakan celana cargo yang kebesaran, kini minta dibelikan celana jeans ketat yang sobek di bagian dengkul dan paha. Atau anak memilih ekskul tahfiz qur’an karena ingin berkompetisi adu cepat hafalan surat dengan teman-teman sekelasnya. Padahal biasanya ia selalu berkelit jika kita memintanya menghafalkan satu surat pendek dalam Al-qur’an.
Terkait konformitas, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono menulis bahwa anak yang beranjak remaja cenderung masuk ke dalam sebuah kelompok sebagai sarana pengakuan diri. Jika ia masuk ke dalam kelompok yang kohesif, kelompok tersebut mempunyai solidaritas tinggi yang menempatkan tujuan kelompok di atas tujuan individual para anggotanya. Karakteristik kelompok menjadi homogen dan membuat ikatan “kekitaan” menjadi sangat kuat, bahkan mengalahkan “keakuan”.
Semakin besar kelompok yang ia masuki (beranggotakan 8 orang atau lebih) dengan sebagian besar anggota berperilaku khusus, maka makin besar kecenderungan anggota kelompok lain mengikuti perilaku tersebut.
Satu anggota (minoritas) yang berbeda suara biasanya tidak sanggup bertahan lama. Ia akan tertekan dan merasa tidak enak dengan yang lain hingga takluk pada pendapat kelompoknya.
Dalam menyikapi konformitas, ada dua hal yang dilakukan seseorang yaitu acceptance dan compliance.
Acceptance merupakan tindakan menyamakan sikap, keyakinan pribadi, maupun perilaku di depan publik menyesuaikan dengan norma atau tekanan kelompok. Perubahan keyakinan dan perilaku individu tersebut terjadi karena ia yakin bahwa opini dan perilaku kelompok adalah benar.
Sementara compliance adalah tindakan seseorang mengubah perilaku di depan publik agar sesuai dengan tekanan kelompok tapi secara diam-diam tidak mengubah pendapat pribadinya. Penyesuaian perilaku tersebut dilakukan hanya untuk mendapat pujian, hadiah, atau menghindari hukuman.
Ketika anak kekurangan informasi, maka ia menyikapi konformitas dalam bentuk acceptance. Ia menelan bulat-bulat ‘kebenaran’ yang beredar di kelompoknya. Sedangkan anak yang merasa takut, maka ia menyikapi konformitas dalam bentuk compliance.
Apakah kita (orangtua) akan membiarkan anak takluk pada konformitas? Sejauh apa konformitas dapat memengaruhi kemandirian anak dalam mengambil keputusan?
Kita mengetahui bahwa ketika konformitas tinggi, maka pengambilan keputusan (secara mandiri) akan rendah. Karena itulah, penting bagi orangtua untuk waspada terhadap konformitas yang bisa mengalahkan keakuan anak.
Ada hal-hal fundamental yang dapat mengukuhkan daya tahan anak terhadap konformitas. Hal-hal berikut ini akan menjadi benteng yang membuat anak tidak kehilangan jati dirinya.
#Pola asuh orangtua. Anak yang mampu mengambil keputusan dalam hidupnya secara mandiri sudah pasti adalah sosok yang berkarakter mandiri. Karena itulah, orangtua harus menanamkan sikap mandiri sejak dini agar anak tidak manja dan leluasa menikmati berbagai hal dalam kehidupannya dengan lebih bertanggung jawab.
Untuk bisa menciptakan anak mandiri, orangtua harus mampu memberi kepercayaan penuh kepada anak untuk melangkah. Belajar dari trial and error. Mencari cara untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kepercayaan yang diberikan orangtua tersebut akan menjelma menjadi kepercayaan diri anak.
#Nilai agama dan nilai moral. Inilah warisan terbesar orangtua yang diberikan kepada anak. Dengan menanamkan nilai-nilai kepada anak, ia akan tumbuh menjadi pribadi berkarakter kuat yang mampu bersosialisasi tanpa harus merelakan jati dirinya tergerus opini orang lain.
Yang harus selalu diperhatikan adalah penanaman nilai-nilai tersebut harus diwujudkan dalam komunikasi efektif yang tenang dan persuasif. Orangtua harus selalu menyediakan ruang diskusi yang nyaman agar anak bisa meyakini kebenaran dari nilai-nilai tersebut dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
#Intelegensia. Paculah anak untuk terus memperluas wawasannya hingga menjadi cerdik cendekia. Yang harus kita lakukan hanyalah memotivasinya untuk semangat belajar dan belajar.
Semua berawal dari mimpi, bukan? Maka biarkan anak mengisi dirinya dengan berbagai pengetahuan lalu melecut dirinya untuk meraih cita-cita dan impiannya.
Bila tiga hal di atas mampu kita hadirkan dalam kehidupan si buah hati, maka saat ia beranjak remaja, ia tetap mampu memiliki kontrol diri yang kuat dan mandiri mengambil keputusan sekalipun bersentuhan dengan konformitas.
KOMENTAR ANDA