KOMENTAR

KEMARAHAN itu adalah misteri. Tidak ada yang benar-benar paham kapan amarah akan meledak, terkadang lebih rumit lagi mengetahui asal muasalnya. Puluhan tahun menikah bukanlah jaminan istri paham segala yang dapat memancing kemarahan suaminya, begitu pula sebaliknya. Di atas kerumitan itu semua, yang penting diketahui bagaimana cara meredam kemarahan.

Nabi Muhammad adalah sosok suami pilih tanding. Kesabarannya luar biasa dalam menghadapi istrinya-istrinya. Beliau mampu mengendalikan diri dengan baik. Dan kalau pun beliau marah, itu adalah amarah yang positif, yang lekas mereda dan menimbulkan efek yang baik.

Sekali pun dirinya pribadi penyabar, tak disangka, Rasulullah juga membekali kaum muslimah dengan tips menghadapi kemarahan suami. Hal ini tercantum pada hadis yang diiwayatkan oleh An-Nasa’i:

Rasulullah Saw bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata, ‘aku tak dapat tidur sebelum engkau rida.”

Seringkali kemarahan suami bukan berasal dari masalah dengan anggota keluarga, tetapi meledak amarahnya justru di rumah. Percikannya cuma hal-hal sepele, seperti remote televisi yang rusak, piring belum dicuci, anak ngompol di celana, nasi yang dingin dan lain-lain, tetapi mampu meledakkan amarah suami. Dari hal-hal kecil macam itulah meledak amarah yang kemudian berkobar-kobar dan terus membesar.

Bukankah hal-hal kecil itu dengan mudah diselesaikan, kenapa suami menjadikannya masalah besar yang membangkitkan tensi amarah? Tekanan luar biasa itu berasal dari luar rumah, malah tak tertahankan saat berada di tengah anak istri, mengapa?

Sudahlah! Kehidupan di dunia ini tidak ada yang benar-benar mudah. Manusia punya keterbatasan emosi, daya tahan batin orang berbeda-beda pula. Seringkali ledakan amarah suami bukannya tentang masalah yang diomongkan, melainkan caranya meminta dukungan dari perempuan yang dicintainya. Tapi kok marah? Ya, begitulah! Terkadang beberapa lelaki merasa perlu menjaga egonya.

Apabila istri meladeni kemarahan suami, hasilnya mudah ditebak bahwa setiap kemarahan akan diakhiri dengan penyesalan. Perang rumah tangga tidak akan menguntungkan siapapun, kecuali setan yang akan terus mengipas-ngipasinya. Itu belum dihitung pula trauma yang meremukkan hati anak-anak gara-gara menonton tayangan langsung pertengkaran orangtua.

Ketika amarah itu berkobar, tidaklah tepat pula dicari siapa benar siapa salah. Toh, pada dasarnya tidak ada yang benar-benar ikhlas untuk disalahkan, tetapi masih bisa untuk disadarkan. Dalam kondisi terbakar amarah, orang lebih berpikir dirinya adalah yang benar. Padahal, mana ada sih manusia yang selalu benar.

Dalam keadaan marah, orang yang tahu dirinya salah pun akan mencari-cari pembenaran atas dirinya. Oleh sebab itu, perlu diketahui cara meredamnya secara efektif. Ada yang memberi saran cara meredakan marah dengan olahraga, tamasya, shopping, kuliner dan lainnya. Namun sebuah rumah tangga butuh cara yang lebih efektif dan tidak buang waktu terlalu lama.

Mungkin terdengar teramat mewah ketika Daniel Goleman pada bukunya Kecerdasan Emosional menerangkan orang yang mengalami amarah atau depresi yang hebat masih bisa merasa sejahtera bila mereka mempunyai kompensasi berupa saat-saat menyenangkan atau membahagiakan.

Namun penjelasan di atas dapat kita buktikan dalam kehidupan. Barangkali suami lagi babak-belur dengan berbagai urusan di luar, tetapi bukan berarti dirinya akan kehilangan makna kehidupan. Sebab suami tetap merasakan nuansa kebahagiaan di tengah keluarganya. Karena ada istri yang mencintai dan anak-anak yang menjadi hiasan mata.

Ungkapan Daniel Goleman itu dapat kita buktikan di mana rumah adalah kompensasi dari hal-hal buruk yang mendera di luar sana. Maka, keutuhan dan kehangatan cinta di tengah keluarga merupakan kekuatan yang patut dipertahankan.

Pada bukunya Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman juga menyarankan salah satu jalan yang paling ampuh untuk meredakan amarah: menggoyahkan keyakinan-keyakinan yang menjadi "bahan bakar" amarah itu terlebih dahulu.

Semakin lama kita berpikir-pikir tentang apa yang membuat kita marah, semakin banyak "alasan bagus" dan pembenaran diri untuk menjadi marah. Segala sesuatunya dengan titik pandang yang berbeda akan mengurangi api amarah. Berpikir dalam kerangka baru yang lebih positif akan suatu situasi merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk meredakan amarah.

Nah, dalam bingkai inilah kita dapat memahami betapa efektifnya saran yang ditawarkan oleh hadis di atas. Dan akan terasa alangkah indahnya kalimat yang dirangkai Rasulullah, agar istri berkata pada suaminya yang lagi marah, “Aku tak dapat tidur sebelum engkau rida.”

Kalimat ini yang menyentuh hati, menggambarkan penghargaan dan juga akan menghasilkan kesadaran. Hari ini akan berakhir dengan datangnya malam yang harusnya menenangkan batin. Akan sangat merugi jika hari yang amat berharga ini diakhiri dengan kemarahan. Mari lupakan masalah-masalah dan mari menutup malam dengan cinta.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur