JIKA pandemi datangnya mengagetkan hingga kita terpuruk tak berdaya, maka new normal seharusnya menghadirkan kita yang lebih tangguh.
Tiga bulan semestinya menjadi waktu yang cukup untuk berpikir keras mencari jalan bagaimana bertahan di masa new normal. Karena kita sudah pernah merasakan masa terburuk, tentu kita tak ingin larut dalam kesusahan.
Dalam rentang 90 hari, kita menyaksikan mereka yang tumbang, mereka yang memilih menjadi “tangan di bawah”, juga mereka yang jeli membaca peluang dan berusaha keras mencari jalan agar asap dapur mengepul.
Tiga bulan ke belakang, kita dihantui rasa was was yang teramat dahsyat. Kita ketakutan, bahkan ‘menggila’. Kita menimbun sembako, memburu masker meski harganya melambung 10 kali lipat, juga menyemprotkan cairan disinfektan ke sekujur tubuh.
Banyak teori kesehatan bermunculan dan saling menyanggah. Tidak hanya hoaks seputar bahaya Covid-19 yang menjadi viral, pertanyaan “jam berapa waktu terbaik untuk berjemur” pun jadi polemik untuk dijawab.
Masih ingat kan, dengan ingar-bingar saat awal ‘perkenalan’ kita dengan pandemi corona?
Selama 90 hari, kita melihat pohon kemanusiaan tumbuh dan berkembang hingga rindang. Kegotongroyongan yang mulai pudar dari keseharian anak bangsa mulai terasa kembali bahkan berdiri kian kokoh. Melahirkan kebersamaan, empati, dan kesetiakawanan. Semua saling berlomba dalam kebaikan.
Empati yang luar biasa menghadirkan banyak gagasan out of the box yang sebelumnya terasa ganjil. Kerja dari rumah, belajar dari rumah, hingga konser musik dari rumah. Publik figur ramai-ramai menyerukan tagar stayathome agar masyarakat memahami urgensi physical distancing. Meski banyak juga yang tak mematuhi aturan karena masih belum memahami atau tidak mau mencoba memahami.
Terlepas dari banyak pihak menyayangkan keterlambatan pemerintah mewaspadai dan merespons pandemi Covid-19, kita memilih untuk berjuang tanpa lelah. Kita tidak ingin anak-anak kita terlalu lama dicekam rasa takut dan rasa bosan. Kita tidak ingin keluarga berantakan karena dihantui kesulitan ekonomi. Kita tidak ingin bangsa ini hancur sendirian sementara yang lain tetap tegak melawan pandemi.
Karena motivator terbaik untuk kita adalah diri kita sendiri, maka kitalah yang harus mencambuk diri untuk secepatnya bangkit. Tidak ada waktu untuk menangis lagi. Tidak ada waktu lagi untuk meratapi nasib. Jika kita masih saja terperangkap pasrah dalam cengkeraman pandemi, bagaimana kita dapat menyibak kegelapan lalu melanjutkan hidup?
Kita harus ingat bahwa waktu terus berjalan. Pandemi tidak menghentikan pertambahan usia kita, maka kedewasaan kita seharusnya terus bertambah meski raga ‘terkunci’ di dalam rumah.
Bismillah adalah ucapan yang menyertai langkah kita mengawali new normal. Kita sudah tahu apa yang kita akan kerjakan. Kita sudah paham bagaimana caranya hidup berdampingan dengan corona tanpa harus terinfeksi. Dan karena kita mengerti bahwa dilonggarkannya PSBB adalah demi kebangkitan ekonomi, maka kita tidak boleh gegabah beraktifitas sosial selama new normal (sekali lagi, ini bukan back to normal).
“Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat” (QS. Ali Imran: 132)
Agar mendapatkan rahmat Allah berupa kemampuan untuk bangkit dari kebingungan, kerisauan, dan kekhawatiran yang diakibatkan pandemi, tak ada jalan lain selain menguatkan ketaatan kita kepada Allah. Semua yang kita lakukan tentulah harus diwarnai doa serta upaya kita menjauhi maksiat dan mendekati jalan kebaikan.
“…sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)
Ya, kita pasti butuh hujan untuk hadirkan pelangi.
Selepas kesulitan selalu ada kemudahan, itulah hukum Allah. Siapa yang tidak takluk pada kesusahannya, dia akan memetik kegemilangannya. Insya Allah kita dapat menikmati pelangi selepas pandemi.
KOMENTAR ANDA