TAMU saya kemarin empat kelompok.
Para pengusaha restoran mengajak bicara soal bagaimana membangkitkan bisnis mereka yang koma.
Para pengusaha anti riba menyerahkan buku merah keyakinan mereka: tanpa utang pun usaha bisa berkembang. Termasuk di masa Covid-19 ini.
Ada lagi teman-teman lama yang ingin kangen-kangenan.
Lalu ada yang satu ini: Alghozi Ramadhan --si milenial nakal yang tiba-tiba ke Surabaya. Ia ingin membantu mengatasi Covid-19 di Kota Pahlawan. Yang dikesankan gawat sekali di mata nasional. Tapi ia belum tahu harus bertemu siapa. Juga belum tahu bagaimana cara bertemu para pihak itu.
Sambil menunggu jalan itu Alghozi saya ajak berbincang. Saya ajak ia ke halaman belakang kantor Harian DI’s Way - -yang juga disebut DI’s Way News House itu.
Perbincangan dengan Alghozi itu direkam. Video itu akan diunggah pekan depan. Di channel DI’s Way.
Meski baru sekali ini bertemu muka, rasanya Alghozi sama sekali bukan orang baru. Hanya kesan saya ia jauh lebih dewasa dari umurnya yang baru 22 tahun. Lihatlah sendiri videonya nanti.
Yang akan lebih banyak saya tulis di sini adalah tamu yang anti riba itu. Sedang diskusi jalan keluar pengusaha restoran akan ditulis di edisi perdana Harian DI’s Way tanggal 4 lusa --kalau jadi bisa terbit.
Yang rombongan tamu anti riba tadi jumlahnya 10 orang. Mereka tergabung dalam MMC - -singkatan MtR Milyader Club. Pengusaha yang usahanya sudah puluhan dan ratusan miliar rupiah. MtR sendiri singkatan dari Masyarakat Tanpa Riba.
Mereka datang dari berbagai kota: Jakarta, Purwokerto, Pemalang, Solo, Sragen, Ponorogo, Malang, Sidoarjo, dan Sampang.
Ada yang usaha alat kesehatan, pupuk organik, garmen, kuliner, optical, saprodi, dan ekspor kotoran cacing.
Dulunya mereka itu punya utang di bank. Semua. Ada yang Rp 20 miliar. Ada yang Rp 200 miliar. Yang terkecil ”hanya” Rp 2 miliar.
”Sebetulnya yang akan ikut ke sini 40 orang. Tapi karena Covid kami batasi 10 orang,” ujar David Mailendra pengusaha alat kesehatan --terutama rapid test.
Ia sudah bergerak di rapid test sejak lebih 20 tahun lalu. Misalnya tes kehamilan, gula darah dan sebangsanya. ”Tiba-tiba istilah rapid test menjadi populer sekarang,” kata David yang kini juga dipanggil Daud Muhammad.
Ia pengusaha besar. ”Saya dulu ingin, di bidang saya ini, menjadi yang terbesar di Indonesia,” ujarnya.
Keinginannya itu tercapai. Antara lain melalui utang bank. Tapi utang itu kian lama kian besar. Hidup tidak tenang. Apalagi setelah menyadari bunga itu riba (haram).
Maka David bertekad melunasi utang. Juga tidak mau lagi berutang di bank. Ia tidak peduli lagi akan tetap jadi ”raja alat kesehatan” atau tidak.
”Sekarang sih masih yang terbesar,” kata David. ”Saya punya merk sendiri di samping menangani tiga merk dari luar negeri,” katanya.
Bagi David menjadi besar cukup. Tidak lagi harus yang terbesar-tapi-belepotan-riba. ”Saya pun, di alat kesehatan, tidak mau lagi ikut proyek pemerintah,” katanya. Ia tidak mau kalau harus menyogok.
Lain lagi dengan Thohir Fauzi. Yang usaha garmennya sampai ekspor ke Korea Selatan. Yang pabriknya di luar kota Ponorogo --dekat Pondok Modern Gontor.
”Utang bank itu seperti candu. Tidak bisa lepas. Selalu saja top up,” ujar Thohir. ”Tidak ada di antara kami ini yang utangnya berkurang. Dari tahun ke tahun terus naik,” katanya. ”Kami takut sampai meninggal pun masih punya utang,” tambahnya.
Padahal, kata mereka, barang siapa meninggal masih punya utang akan masuk neraka. Itulah sebabnya di kuburan selalu ada adegan deklarasi utang.
Perwakilan keluarga selalu bertanya kepada kerumunan pelayat yang ada di kuburan itu: kalau almarhum punya utang agar menghubungi keluarga. Untuk diselesaikan.
Sedang untuk utang yang kecil-kecil, pihak keluarga biasanya minta agar diikhlaskan. Terutama bagi mereka yang tidak mau menagih --karena tidak seberapa atau karena iba. Jangan sampai tidak menagih tapi juga tidak mau merelakan.
KOMENTAR ANDA