KOMENTAR

SUDAH tidak masanya lagi ayah yang menyerahkan pengasuhan dan pendidikan anak-anak kepada istri saja.

Kini, para ayah pun ingin lebih terlibat dalam kehidupan buah hati tercinta secara langsung. Namun, apakah pengorbanan sang ayah itu berdampak positif bagi perkembangan anak?

Mari cermati tiga kisah nyata ini:

Ayah 1:
Pria ini bekerja di lembaga internasional berkedudukan di Jakarta dengan jabatan yang cukup mentereng. Dia menyebut dirinya sebagai ayah Persami (pergi Sabtu kembali Minggu). Maklum anak-anak dan istrinya masih bertahan di Semarang. “Capek pastinya,” ucapnya tersenyum tegar. Karena begitu sampai di rumah, anak-anak mestilah minta jalan-jalan.

Memang belum lama dirinya hijrah sendirian ke Jakarta dan perlu banyak penyesuaian dengan lingkungan kerja kelas dunia. Istri dan anak-anak masih di kampung, sejatinya bukan masalah biaya, tetapi cemas dengan kehidupan ibukota yang ganas. Menurutnya kehadiran dua hari dalam seminggu cukuplah untuk menjalankan peran sebagai ayah yang baik. Toh istri tidak bekerja, total mengasuh dan mendidik di rumah.

Namun, jiwa sang ayah terguncang hebat. Pasalnya, putra sulung mengeluh, “Kata teman-teman, aku tidak punya ayah.”

Ayah 2:
Lelaki enerjik ini ingin lebih fokus kepada keluarga, khususnya anak-anak. Sebuah keputusan spektakuler diambilnya dengan bekerja di rumah saja. Lantai dua rumah disulapnya menjadi ruang kerja dan tidak ada yang berani mengusiknya.

Semula istrinya sempat cemas kerja di rumah akan mengganggu keuangan. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya, berbagai proyek sebagai desainer berdatangan seperti tsunami. Dia benar-benar kewalahan dan terpaksa mengoper rezeki kepada rekan-rekan yang lain.

Justru bekerja di rumah keuangan semakin makmur, meningkat berlipat-lipat. Dan yang menakjubkan, dia dapat bekerja keras dari sebelum Subuh hingga larut malam. Hebatnya, dia masih sering berjumpa dengan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.

Namun hatinya terguncang saat menyaksikan putranya yang berusia 2 tahun tergolek lemah di rumah sakit. Ternyata telah lebih dua tahun dirinya bekerja sangat keras di rumah. Meski bertemu tiap sebentar, tetapi dirinya tidak pernah hadir dalam kehidupan anak-anaknya.
Dia tidak ingat bagaimana lahirnya anak itu.

Bahkan dia tidak punya kenangan apapun dengan putranya yang tengah sakit. Tiba-tiba sang ayah tergidik ngeri, bahkan dalam kurun dua tahun ia tidak mengenali anaknya sendiri. Dirinya ada tetapi hakikatnya tiada.

Ayah 3:
Enam orang anak bukanlah perkara mudah bagi istri mengasuhnya. Maka sang ayah memutuskan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dia tidak kemana-mana. Sesekali saja keluar jika ada yang memesan barang padanya. Di rumah ia sering memberikan tausiyah atau nasihat agama kepada istri dan anak-anaknya. Dia punya banyak kesempatan mengaji Al-Qur’an dan membaca buku-buku agama. Lelaki itu merasakan ketentraman saat berada di rumah.

Tetapi istrinya malah menuntut perceraian, sesuatu yang terdengar bagai sambaran petir di siang bolong. Tausiyah selama ini tidak melekat di hatinya. Sang istri malah berkemas-kemas hendak memboyong anak-anak pulang kampung. Apa masalahnya?

Istrinya protes dengan nafkah yang mulanya tersendat, dan bulan-bulan belakangan ini tidak ada sama sekali. Istri dan anaknya tidak mampu bertahan dalam kondisi perut keroncongan. Mereka tidak kenyang hanya dengan terus-menerus diberi tausiyah belaka. Semua anaknya kompak ikut ibunya pulang kampung, setidaknya di sana mereka tidak akan mati kelaparan.

Tiga ayah di atas telah berusaha untuk hadir dalam hidup anak-anaknya. Mereka tidak ingin mengabaikan anak hanya disebabkan pekerjaan di luar rumah. Namun, apa mau dikata, sesuatu yang dipandang baik belum tentu menghasilkan kebaikan pula. Cara-cara sang ayah malah menghasilkan masalah yang lebih besar bagi anak-anaknya.

Di sini terlihat, kehadiran seorang ayah bukan sekadar ada, tetapi juga memberi makna bagi kehidupan anak-anaknya. Ada sih ayah yang lebih lama waktunya di rumah, tetapi hanya melampiaskan kekerasan terhadap anak-anaknya. Memang ada ayah yang fokus bekerja di rumah, tetapi mengabaikan keberadaan anaknya. Terbukti ada ayah yang lebih menyukai rumah dibanding dunia luar, tetapi ia tidak mampu memberikan nafkah yang mencukupi hajat hidup.

Di sinilah komunikasi menjadi amat menentukan, peran yang diharapkan dari seorang ayah akan diketahui dari hati anak-anaknya. Jangan sampai fisik ayahnya ada, tetapi hatinya di tempat berbeda. Jangan pula keberadaan ayah bagaikan ketiadaan saja. Komunikasi perlu dilakukan secara intensif, yang tentunya perlu melibatkan pemikiran dan pertimbangan istri.

Singgih D. Gunarsa pada buku Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja menerangkan bagaimana peranan ayah ini, tergantung dari jenis kelamin anak-anak. Umumnya ayah cenderung lebih memanjakan anak wanita, sedangkan dengan anak laki-lakinya, ayah lebih ambisius. Ayah, sebagai orang yang mengepalai keluarganya, selalu menjadi otoritas terakhir dalam membuat keputusan-keputusan yang utama.

Bila tokoh ibu bagi seorang anak merupakan tokoh yang dipercayainya dan mempunyai hubungan yang dekat dengan anaknya, maka tokoh ayah merupakan benteng kekuatan, pada siapa anak dan ibu biasanya bergantung. Seorang ayah harus dapat menjadi orang kuat bagi anak-anaknya dan menjadi tempat bertanya bagi mereka. Ia membimbing anak-anaknya untuk berani menghadapi kehidupan di dunia ini.

E. Hurlock mengemukakan bahwa ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai teman atau rekan bagi anak-anaknya, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu untuk dan bersama-sama anak-anaknya. Sebagai seorang ayah, maka peranan ayah tampak melalui aktivitas-aktivitas ayah yang berusaha mengembangkan kemampuan-kemampuan, keahlian-keahlian yang dibutuhkan anak, mengarahkan minatnya serta mengembangkan kemampuan intelektualnya.

Tentunya nafkah lahir berupa pemenuhan kebutuhan pokok bagi anak itu amat perlu, tetapi kebutuhan dirinya sebagai manusia bukan sekadar sandang, pangan atau papan dan yang lahiriah lainnya. Jiwanya anak perlu pula mendapatkan asupan bergizi berupa hidangan menu-menu rohani. Supaya anak tangguh menjalani kehidupan, maka mereka perlu mengenal Allah sebagai pegangan hidup dunia akhirat. Mereka membutuhkan agama sebagai pedomannya.

Dalam Al-Qur’an, ada sebuah surat yang mengabadikan sosok ayah inspiratif, yaitu Luqman. Siapapun yang hendak menjadi ayah teladan perlu berulangkali membaca dan mendalami mutiara dari surat Luqman ini. Betapa Luqman mengajarkan prinsip tauhid dan akhlak yang terpuji sebagai bekal kehidupan anak-anaknya. Mungkin tidak akan mudah menjadi sosok ayah yang sempurna, tetapi kehidupan anak akan disempurnakan oleh kekuatan rohani mereka.

 




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting