KITA sulit sekali mengabaikan apa kata orang. Tingkah laku hingga apa yang melekat pada diri kita seringkali adalah hasil pemikiran panjang yang berdasar pada “apa kata orang”.
Selalu mendengarkan apa kata orang jadi salah satu tanda kita tidak yakin pada diri sendiri. Juga tanda rendahnya kepercayaan diri. Seolah-olah kita tidak bisa belajar dan mencari tahu sendiri apa yang kita butuhkan dalam hidup.
Selalu mengutamakan apa kata orang kemudian dapat membuat kita kehilangan diri sendiri. Pada akhirnya, kita mungkin akan bertanya “siapa dia?” saat bercermin. Seperti kisah Mulan yang mempertanyakan refleksi dirinya yang memaksakan diri menjadi seorang “putri bangsawan”, demi menyenangkan hati orangtua dan masyarakat, meski hatinya ingin menjadi “prajurit”.
Betapa berbahayanya bila kita tidak dapat mengenali lagi diri sendiri. Kita mengenakan busana yang menurut orang bagus kita kenakan. Kita mengikuti arisan dengan iuran yang menguras dompet demi orang lain menyebut kita sosialita. Kita terpaksa berbisnis di bidang yang tidak kita kuasai dan tidak kita senangi karena orang lain mengatakan itulah yang menguntungkan paling cepat. Dan masih banyak lagi.
Hasil dari mendengarkan apa kata orang bisa menjelma menjadi pencitraan. Karena terbiasa mengikuti pendapat orang lain, maka terbentuklah diri kita seperti yang diinginkan orang lain.
Sampai kapan kita memilih menjadi people pleaser? Berusaha setengah mati untuk menyenangkan orang lain tanpa menyadari perlahan-lahan kehilangan jati diri dan keyakinan diri.
Ya, memikirkan apa kata orang tidak akan membuat kita maju atau menjadi lebih baik. Kita tidak memahami makna di balik setiap tindakan kita karena tidak melakukannya dari nurani sendiri. Kita bak kerbau dicocok hidung. Ibarat terjebak cinta buta.
Inilah yang harus kita pegang erat: setiap manusia diberi Allah kelebihan dan kekurangan. Orang-orang terdekat kita seperti pasangan, orangtua, anak, keluarga, juga sahabat adalah mereka yang bisa menerima kelebihan dan kekurangan kita. Psikolog Analisa Widyaningrum menyebut mereka sebagai circle (lingkaran) pertama bagi kita. Inner circle yang menjadi support system kita nomor satu.
Dalam hubungan kita dengan lingkaran pertama, kita sah-sah saja mencoba menyenangkan dan membahagiakan mereka karena mereka pun akan melakukan hal yang sama untuk kita.
Sementara terhadap lingkaran kedua dan yang lebih luar lagi, menurut psikolog Analisa, kita tak perlu mati-matian menyenangkan mereka karena hubungan yang terjalin tidak sedalam dan tidak seerat dengan orang-orang dalam lingkaran pertama.
Jadi jangan tunda lagi, kita harus segera menggali potensi demi mencari versi terbaik diri kita. Tidak mesti sempurna karena memang tak ada manusia sempurna. Juga tidak perlu terlihat sempurna di mata orang lain.
Kepribadian yang santun, akhlak yang mulia, dan integritas diri pada akhirnya akan menentukan siapa diri kita. Tiga hal itu tidak bisa kita sandarkan pada “apa kata orang”, tetapi tumbuh dari keyakinan diri sendiri.
Ketika kita mulai hijrah untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita bukan melakukannya karena didesak apa kata orang melainkan karena kesadaran untuk menjadi umat Muhammad yang ingin masuk ke surga Allah.
Meski begitu, jika apa kata orang erat hubungannya dengan nilai-nilai moral dan nilai agama, maka kita wajib mendengarkan apa kata orang. Jangan berkeras hati untuk mengatakan “this is me” lalu bersikap permisif dengan hal negatif yang ada pada diri kita.
Jika kita suka berghibah, menghina orang miskin, mengkhianati pasangan, menipu rekan bisnis, menganiaya orang yang lebih lemah, menyakiti hati ibu, mengacuhkan si buah hati, dan melakukan hal-hal lain yang dilarang Allah, sementara orang ramai-ramai meminta kita meninggalkan itu semua, maka itulah saatnya kita menuruti apa kata orang. Karena apa kata orang saat itu bersandar pada “apa kata Allah”. Wallahu a’lam.
KOMENTAR ANDA