SANG pemikir mahakritis maka dikenal sebagai Sri Begawan Kelirumologi Filsafat, Lukas Suwarso melengkapi naskah “Kemustahilan Luar Kepala” dengan komentar: Kata majemuk yang bernuansa tidak sensitif-gender adalah "akal budi". Kata ini sangat maskulin, seolah cuma budi (laki-lak) yang bisa berakal, tidak ada "akal Rini", "akal Yanti", dan sebagainya.
Budi
Komentar mas Lukas membuat saya terperangah, sebab akibat komentar beliau baru saya tersadar bahwa bahasa Indonesia mirip-mirip bahasa Jerman yang eksplisit mendiskriminir kata secara gender menjadi feminin, maskulin, bahkan netral gender alias banci.
Ternyata Budi adalah kata maskulin, sebab memang tidak ada perempuan bernama Budi. Meski kekecualian tetap ada seperti adinda perempuan mahalontaromolog, DR. Sugi Lanus bernama Budi, sementara ada pula nama perempuan Budiwati, Budiyanti, Budiani, Budi Suprani dan yang sejenis lain-lainnya.
Namun segenap kekecualian itu tidak mengurangi bobot alasanologis untuk menganggap kata majemuk “akal-budi” kurang sensitif-gender akibat budi memang lebih cenderung maskulin ketimbang feminin. Memang sementara ini belum ada kata majemuk “akal-rini” atau “akal-yanti” sebab belum ada kebutuhan mendesak untuk membuatnya.
Amat
Sebenarnya masih ada satu kata lagi yang rawan dituduh tidak sensitif-gender yaitu kata amat dalam arti sangat atau terlalu. Jelas bahwa amat merupakan kata bersifat maskulin, sebab tidak ada perempuan bernama Amat kecuali yang transgender. (Namun kata amat bisa juga kurang sensitif-gender terhadap kaum lelaki seperti pada kata majemuk: bodo-amat!).
Meski sebenarnya kata Ibu Kota, Ibu Jari, Ibu Pertiwi, pada hakikatnya juga bernuansa tidak sensitif-gender alias diskriminatif negatif terhadap kaum lelaki. Terbukti tidak ada istilah Bapak Kota, Bapak Jari, Bapak Pertowo. Hari Ibu ada, Hari Ayah tidak ada! Hari Kartini ada, Hari Kartono tidak ada! Cuti hamil ada, cuti menghamili tidak ada!
Memang menurut hasil penelitian Pusat Studi Kelirumologi di ranah genderisme, amat (oops!) layak dikasihani bahwa nasib kaum lelaki di Indonesia secara bahasa mau pun tata aturan ketenagakerjaan ternyata diperlakukan tidak adil.
Berjasa
Meski rawan dianggap mengembangkan tradisi mempermasalahkan masalah yang sebenarnya bukan masalah, namun layak diyakini bahwa Sri Begawan Lukas Suwarso amat (oops!) berjasa memperluas wawasan pandang terhadap kawasan filologi bahasa Indonesia untuk juga mempertimbangkan unsur genderisme dan keadilan seksual masuk ke dalam sistem terminologi linguistik bahasa Indonesia.
Harus diakui bahwa memang unsur genderisme relatif kurang dipedulikan, apalagi diperhatikan oleh para ilmuwan dan para penguasa yang berkuasa menentukan mana yang benar dan mana yang tidak benar pada bahasa Indonesia yang sementara ini masih terkesan lebih didominir lelaki ketimbang perempuan.
Mohon dimaafkan apabila kesan tersebut keliru. Maklum saya lelaki.
Penulis Adalah Pendiri Pusat Studi Kelirumologi Dan Penulis Buku Kelirumologi Genderisme
KOMENTAR ANDA