SATU lagi sejarah baru ditorehkan tahun 2020: tidak ada kemacetan di hari pertama sekolah!
Hari-hari menjelang tahun ajaran baru terasa gegap gempita dengan berbagai request. Mulai dari tas sekolah baru, sepatu dan kaus kaki baru, perlengkapan makan baru, buku tulis dan peralatan tulis baru, mukena dan sajadah baru (anak-anak SDIT wajib membawa perlengkapan salat), sticker/ label nama baru, hingga seragam baru jika yang lama sudah lusuh, robek, dan kesempitan.
Tahun ini ‘sunyi senyap’.
‘Keributan’nya berganti. Perlukah kita membeli ponsel pintar atau laptop, mouse, juga headset, meja, berikut kursi baru? Itu yang jadi bahan diskusi orangtua menjelang tidur malam. Akhirnya berujung pada “kita lihat saja nanti”.
Maklumlah, semua itu sebelumnya tidak pernah terpikirkan akan menjadi kebutuhan sekolah yang diributkan menjelang tahun ajaran baru. Masih banyak orangtua merasa laptop adalah kebutuhan tersier yang ‘mewah’.
Di satu sisi, saat ini banyak orangtua kehilangan pekerjaan atau berkurang pendapatan mereka, namun di sisi lain, kebutuhan akan laptop atau ponsel menjadi sangat penting untuk kegiatan belajar mengajar di sekolah. Bisa dikatakan gadget saat ini telah menjadi sebuah investasi bagi pendidikan anak.
Lalu di hari pertama sekolah, keributannya berpindah ke layar meeting room. Setelah menyapa anak-anak, guru memberi penjelasan. Ternyata banyak siswa yang tidak mengklik audio hingga suara sang guru tidak terdengar. Tapi gurunya asyik menjelaskan meski anak-anak berisik. Atau ya itu, kakak dan adik bergantian laptop hingga salah satu harus berkorban tidak mengikuti sesi pertemuan di hari pertama sekolah.
Itu mungkin gambaran sebagian kecil suka duka Pembelajaran Jarak Jauh yang dilakoni anak Indonesia. Ada sebagian kecil lain menjalani hari pertama sekolah dengan mulus. Laptop baru, ruang belajar baru dengan wallpaper baru dan ac baru, juga koneksi internet yang sangat cepat.
Tapi ada sebagian besar anak Indonesia yang masih terkendala urusan teknis. Sinyal internet yang hilang timbul atau bahkan sangat minim. Dan, boro-boro membeli laptop, untuk makan sehari-hari saja sulitnya bukan main. Bahkan lebih menyedihkan lagi, tidak ada ketersediaan listrik.
Maka bagi mereka, PJJ benar-benar menjadi sesuatu yang mewah. Inilah yang membuat wacana pembelajaran online akan dipermanenkan—seperti dikatakan Mendikbud Nadiem Makarim saat rapat kerja dengan Komisi X DPR RI (03/07/20)—ramai menuai pro dan kontra di masyarakat.
Pengamat Pendidikan Darmaningtyas menyebut ada total 54.279 sekolah yang bermasalah dengan PJJ karena tidak ada listrik dan tidak ada internet. Hal itu menurutnya tentu saja membuat kualitas pendidikan di masa pandemi menurun. Banyak sekolah yang tidak menuntaskan pembelajaran.
Karena itulah, Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat meminta penyederhanaan kurikulum yang adaptif untuk diterapkan pada PJJ selama pandemi Covid-19. Menurutnya, penyederhanaan tersebut setidaknya harus mencakup materi pembelajaran yang disarikan, jam belajar yang lebih singkat, serta pembelajaran yang lebih interaktif antara guru dan siswa.
Dengan menyederhanakan subjek kurikulum selama pandemi, guru diharapkan bisa lebih tenang mengajar. Harus dipahami bahwa belajar online bukanlah memindahkan “jam belajar sekolah” dari pagi hingga siang menjadi “jam belajar PJJ”.
Selain karena sarana, pra sarana, dan urusan teknis yang masih banyak kendala, PJJ secarafull ditakutkan tidak dapat memenuhi tujuan pendidikan dalam hal pembentukan karakter. Pembentukan karakter tersebut terjadi dalam interaksi langsung siswa dengan guru, sesama siswa, pegawai sekolah, juga dengan orangtua murid.
Blended Learning
Nah, berangkat dari berbagai kekhawatiran di atas, saat ini muncul metode blended learning sebagai satu solusi pendidikan di masa pandemi—yang juga diprediksi dapat berkesinambungan dijalankan meski pandemi telah usai.
Mengutip sibatik.kemdikbud.go.id, blended learning adalah sebuah lingkungan pembelajaran yang dirancang dengan menyatukan pembelajaran tatap muka (face to face) dengan pembelajaran online yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik (Garner&Oke, 2015).
Blended learning adalah metode yang menyempurnakan e-learning karena memungkinkan terjadinya diskusi (komunikasi 2 arah) antara pengajar dan peserta didik. Dengan 3 komponen yaitu online learning, pembelajaran tatap muka, dan belajar mandiri, blended learning diharapkan dapat menciptakan lingkungan belajar yang positif tanpa terbatas waktu.
Blended learning memiliki 4 konsep yang dirasa mumpuni untuk menghadirkan sistem pendidikan yang optimal :
1) Mengkombinasikan berbagai teknologi berbasis web untuk mencapai tujuan pendidikan.
2) Mengkombinasikan bermacam pendekatan pembelajaran untuk menghasilkan pencapaian optimal dengan/ tanpa teknologi pembelajaran.
3) Mengkombinasikan berbagai format teknologi pembelajaran seperti web-based training, film, video) dengan pembelajaran tatap muka.
4) Mengkombinasikan teknologi pembelajaran dengan perintah kerja aktual untuk menciptakan good vibes dalam pembelajaran.
Idealnya, blended learning dapat menjadi sebuah gaya belajar favorit peserta didik. Mereka bisa mendapat ilmu tidak hanya di dalam ruang kelas atau di rumah saja secara virtual, tapi juga tetap bisa berinteraksi/ bersosialisasi dengan teman-teman mereka. Tentu saja, seorang guru dituntut untuk kreatif dan interaktif demi menciptakan suasana pembelajaran yang penuh semangat.
Saat ini, kita memang belum bisa melaksanakan blended learning secara optimal. Bahkan, bisa dikatakan bahwa online learning alias PJJ yang kita jalani saat ini adalah sebuah keterpaksaan, ‘buah’ dari pandemi.
Dengan sarana seadanya, pengetahuan teknologi seadanya, juga kesadaran seadanya. Tak ayal, saat ini pendidikan menjadi sangat berat diperjuangkan. Tak hanya oleh para guru tapi juga para orangtua.
Tapi, sekali lagi, tak ada yang mudah untuk memulai sesuatu. Sama tak mudahnya dengan menghadapi pandemi Covid-19. Dengan akal, kita bisa mengenali, mengamati, beradaptasi, bertahan, hingga nanti kita bisa mengalahkan kesulitan.
Semoga pendidikan ‘terpaksa’ yang kita jalani saat ini tetap mencerdaskan para peserta didik sekaligus melatih kesabaran, kemandirian, dan kreativitas guru serta orangtua.
KOMENTAR ANDA