Sapardi Djoko Damono dikenang dalam setiap karyanya/Net
Sapardi Djoko Damono dikenang dalam setiap karyanya/Net
KOMENTAR

AKU ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Aku Ingin (1989)

Puisi sarat nuansa romantisme itu merupakan salah satu puisi yang paling terkenal yang pernah dibuat oleh sastrawan kenamaan Indonesia, Sapardi Djoko Damono.

Bak sihir yang memiliki kekuatan magis, puisi itu pun acapkali menggetarkan hati mereka yang membaca maupun mendengarnya.

Pilihan kata per kata dalam baik-bait puisi tersebut sangat sederhana. Namun perpaduannya membuat kesatuan makna yang kuat dan mendalam.

Bukan hanya "Aku Ingin", puisi lain hasil buah pikiran sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu lainnya yang tidak kalah terkenal adalah "Hujan Bulan Juni" (1989). Judul tersebut juga dijadikan judul kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan Grasindo pada 1994. Kumpulan puisi ini memuat 102 puisi karya Sapardi yang ditulis tahun 1964 hingga 1994.

Begitu terkenalnya puisi "Hujan Bulan Juni" tersebut, sampai-sampai puisi itu dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin.

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Hujan Bulan Juni (1989)

Sang pujangga di balik puisi-puisi tersebut kini sudah kembali ke hadapan-Nya. Dinding-dinding sebuah rumah sakit di kawasan Tangeran Selatan, Banten menjadi saksi bisu kepergiannya pada Minggu pagi (19/7).

Kepergiannya menyisakan segudang karya sasta nan abadi. Meski raga sudah tak lagi dapat diraba, namun dia bisa ditemukan pada setiap karyanya. 

Sederet karya Sapardi yang tidak kalah fenomenal lainnya antara lain adalah:

  • Duka-Mu Abadi (1969)
  • Mata Pisau (1974)
  • Perahu Kertas (1983)
  • Sihir Hujan (1984. Karya ini membuat Sapardi mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
  • Hujan Bulan Juni (1994)
  • Arloji (1998)
  • Ayat-ayat Api (2000)
  • Pengarang Telah Mati (2001, kumpulan cerpen)
  • Mata Jendela (2002)
  • Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
  • Membunuh Orang Gila (2003, kumpulan cerpen)
  • Mantra Orang Jawa (2005, puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
  • Kolam (2009, kumpulan puisi)
  • Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012, kumpulan puisi)
  • Namaku Sita (2012, kumpulan puisi)
  • Trilogi Soekram (2015, novel)
  • Hujan Bulan Juni (2015, novel)
  • Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
  • Suti (2015, novel)
  • Pingkan Melipat Jarak (2017, novel)
  • Yang Fana Adalah Waktu (2018, novel)

Ibarat pepatah, gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan nama.

Sosok Sapardi mungkin telah tiada untuk selama-lamanya. Namun namanya akan abadi dalam setiap karyanya. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono!

"... Yang Fana adalah waktu, kita abadi..." Sapardi Djoko Damono (1978)




Indonesia Raih “Best Tourism Villages 2024" UN Tourism untuk Desa Wisata dengan Sertifikat Berkelanjutan

Sebelumnya

Konten Pornografi Anak Kian Marak, Kementerian PPPA Dorong Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Digital

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News