ANDA sudah tahu: Presiden Jokowi membentuk tim pemulihan ekonomi dan Covid-19. Semua mata tertuju pada siapa yang menjadi ketua timnya: Erick Thohir, Menteri BUMN.
Tim ini memiliki dua unit besar: ekonomi dan Covid-19. Mata pun tertuju pada siapa ketua-ketuanya. Yang keduanya sempat jadi gorengan isu.
Untuk ekonomi diketuai Budi Sadikin, Wakil Menteri BUMN sekarang. Nama Budi Sadikin rupanya dianggap kurang populer sehingga sempat disebutkan ketua bidang ini adalah Budi Gunawan, Kepala Badan Intelijen Negara.
Untuk bidang Covid-19 dipimpin Letjen Doni Monardo, Ketua BNPB sekarang. Ini juga sempat digoreng bahwa pembentukan tim tersebut seperti menghilangkan peran Doni Monardo.
Saya melihat Presiden Jokowi sangat tepat dengan timnya itu. Timing-nya tepat. Pun personalianya. Tentu orang tetap melihat secara kritis: seberapa kuat posisi tim ini. Kuat dalam pengertian otoritasnya.
Memang pembentukan tim ini seperti menempatkan Erick Thohir sebagai mirip perdana menteri. Tapi saya belum melihat apakah akan punya wewenang setinggi itu. Saya belum tahu senjata apa yang diberikan padanya untuk bisa mem-by pass birokrasi resmi.
Di atas ketua ini masih ada ketua. Lengkap dengan wakil-wakil ketua. Ketuanya-ketua ini adalah Menko Perekonomian. Dengan wakil ketua para Menko yang lain. Plus beberapa menteri terkait.
Bisa saja itu sebagai taktik semata. Agar Presiden tidak memandulkan Menko Perekonomian dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Bisa juga kedudukan para Menko itu sebagai mirip dewan komisaris. Sedang Erick Thohir adalah Dirutnya.
Akhirnya tim ini akan bisa berjalan kalau para Menko tersebut tahu diri. Mereka juga perlu mengalah dan tidak egois. Terutama tidak mudah tersinggung dan tidak mudah merasa dilangkahi.
Misalnya ketika Tim Erick Thohir sering melapor langsung ke presiden. Atau presiden memanggil langsung Tim Erick Thohir. Saya lihat Erick Thohir punya kepribadian yang bisa menjaga kehormatan para senior itu. Demikian juga Budi Sadikin dan Doni Monardo. Tiga-tiganya bukan tipe orang yang potensial konflik.
Tapi orang juga harus paham. Untuk bisa kerja cepat kadang harus lupa aspek menjaga perasaan. Itu yang selalu dikeluhkan orang-orang Singapura ketika masih bersama Malaysia.
Meski negara itu sudah terbelah menjadi Singapura dan Malaysia mereka tetap ingin memiliki perusahaan penerbangan satu saja. Yakni yang sudah ada saat itu: Malaysia Airlines System (MAS). Yang manajemennya terdiri dari perwakilan Malaysia dan perwakilan Singapura.
Saya pernah menulis, kapan itu, bagaimana sulitnya rapat-rapat direksi di MAS. Direksi yang asal Malaysia menganggap teman mereka yang dari Singapura main putuskan, main potong, main data. Cara bicaranya pun sangat langsung. Tidak menjaga perasaan sama sekali. Apalagi kalau sudah menyangkut keuangan.
Sedang direksi yang dari Singapura mengeluh sulit sekali mendapat persetujuan dari direksi perwakilan Malaysia. Kadang yang asal Singapura itu sulit menebak apa yang sebenarnya diinginkan rekan mereka yang dari Malaysia.
Akhirnya Singapura tidak tahan lagi. Mereka tidak bisa berada dalam satu tim perusahaan seperti itu. Maka berdirilah Singapore Airlines. Yang begitu pesat kemajuannya.
Sedang MAS sebenarnya juga begitu semangat ingin bersaing. Tapi hanya sebatas semangat. MAS pun kian sulit. Sudah berkali-kali diselamatkan dengan suntikan uang negara. Tidak selamat juga. Tahun lalu sudah mulai ada pembicaraan: MAS minta agar Singapore Airlines menyelamatkannya.
Saya tidak menganggap tim Erick Thohir ini seperti sikap perwakilan Singapura itu. Setidaknya di tulisan ini. Secara lahiriah Erick Thohir dan timnya adalah orang yang bisa menjaga perasaan.
Masalahnya: kita pilih terus jaga perasaan atau pilih maju cepat. Tentu banyak yang memilih dua-duanya. Tapi kadang tidak selamanya bisa begitu.
Maka sikap mengalah dan menekan ego di jajaran para Menko tadi memang sangat menentukan. Kita pun ingat: jasa seseorang terhadap bangsa ini tidak hanya datang dari mereka yang memimpin. Tapi juga dari mereka yang mengalah.
Saya akan selalu ingat: jasa Jenderal Nasution tidak kalah besar dari jasa Jenderal Soeharto --justru karena Nasution mengalah. Nasution justru meminta Soeharto saja yang menjadi pejabat presiden. Untuk menggantikan Bung Karno. Padahal Nasution lebih senior. Ia juga diidolakan. Terutama karena putri kecilnya tewas ditembak sebagai perisai dirinya.
Pun Pak Harto sendiri sudah minta agar Nasution mau menjadi pejabat presiden --entah sungguh-sungguh atau hanya taktik Soeharto untuk menjaga perasaan Nasution.
Yang jelas Nasution tidak mau mengambil kesempatan itu. Nasution justru menyilakan Soeharto yang tampil. Yang baru 42 tahun. Yang pangkatnya baru bintang dua. Yang jabatannya baru Pangkostrad. Bayangkan bagaimana kalau waktu itu Nasution tiba-tiba bilang: ya saya mau!
Amin Rais, sebagai bapak reformasi, juga punya kesempatan serupa. Juga tidak mau. Sayangnya belakangan ia sangat mau jabatan itu --justru ketika timing-nya sudah lewat.
Jadi, apakah Tim Erick Thohir ini akan bisa berjalan?
KOMENTAR ANDA