KOMENTAR

UBAH Lelah Jadi Lillah adalah sebuah buku karangan Dwi Suwiknyo yang pertama kali diterbitkan tahun 2017. Buku tersebut berisi motivasi agar seorang Muslim senantiasa meluruskan niat beramal salih semata karena Allah agar lelah yang terasa selama hidup tidaklah sia-sia.

Dengan meniatkan segala aktivitas untuk menggapai rida Allah, maka insya seorang Muslim tidak akan keluar dari jalan syariat dan merasakan keberkahan dalam hidupnya. Jadikan amaliah duniamu bernilai akhirat, jauhi amaliah akhiratmu (yang) bernilai dunia. Begitulah pesan sang penulis yang juga seorang dosen dan motivator islami itu.

Kalimat “mengubah lelah menjadi lillah” tersebut menjelma menjadi tagline para ibu masa kini (baca: masa pandemi Covid-19).

Kita mengetahui bahwa ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Dari ibulah anak-anak mendapatkan pengetahuan mendasar tentang apa yang ada di sekitar mereka. Ibu yang mengenalkan anak pada alam, benda-benda, dan juga nilai-nilai moral yang dibutuhkan dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Di saat anak memasuki usia sekolah, urusan pendidikan biasanya ‘diserahterimakan’ dari orangtua kepada guru di sekolah. Orangtua bisa dikatakan hampir tidak terlibat dalam kegiatan belajar anak—kecuali ada PR berisi soal-soal sulit. Orangtua biasanya hanya bertanya tentang nilai. Memuji anak jika si kecil meraih nilai tinggi, dan memarahinya jika mendapat nilai pas-pasan atau nilai jelek.

Nah, di masa pandemi, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mengharuskan orangtua (terutama ibu) menjadi guru kedua. Karena ada target pembelajaran yang harus dituntaskan dalam durasi satu semester, guru pun ngebut hingga setiap hari ‘tega’ memberikan setumpuk tugas setelah memberi penjelasan singkat melalui zoom atau google meet.

Anak mau tidak mau harus bertanya pada ibu untuk bisa mengerjakan apa yang diperintahkan guru. Ada yang tidak memahami maksud soal yang diberikan, ada yang tidak tahu jawabannya, semua bertanya kepada ibu. Apalagi jika si kecil baru masuk SD. Belum lagi jika ada yang malas mengerjakan, ibu harus susah payah membujuk anak.

Dan keriuhan PJJ itu menambah pekerjaan ibu di rumah. Bayangkan saja, seorang ibu yang sudah memiliki predikat sebagai manusia multitasking saat ini perannya seolah menjadi multiple multitasking. Alias memiliki tugas yang makin berlipat-lipat ganda. Terlebih bagi para ibu yang tidak memiliki support system di rumah seperti ART.

Multitasking dianggap sebagian besar orang sebagai sesuatu yang hampir mustahil. It’s a myth, ilusi. Karena otak manusia tidak bisa fokus pada lebih dari satu pekerjaan, multitasking bisa dipersepsikan sebagai cara seseorang mengerjakan lebih dari satu tugas secara BERGANTIAN dalam waktu yang sama, dikutip dari jurnal Psychological Science.

Mengerjakan A, berhenti sebentar, beralih mengerjakan B, berhenti sejenak, kembali mengerjakan A, berhenti, dan seterusnya. Itu berarti kita tidak mengerjakan A dan B sekaligus dalam waktu yang (benar-benar) sama karena kita selalu berhenti sejenak lalu berganti fokus.

Multitasking juga kerap dituding sebagai awal dari kekacauan. Banyak orang berpikir jika mengerjakan lebih dari satu kegiatan dalam satu waktu—sekali pun itu bergantian—besar kemungkinan kita melewatkan detail hingga hasil pekerjaan tidak maksimal.

Namun demikian, jurnal yang diterbitkan Association for Psychological Science tersebut menyebutkan bahwa orang yang menganggap dirinya multitasking atau sedang melakukan multiple tasks, lebih terkoneksi dengan pekerjaannya bahkan cenderung membuahkan hasil yang lebih baik dibanding mereka yang mengerjakan satu pekerjaan.

Alasannya, orang tersebut terlibat lebih dalam dengan pekerjaan-pekerjaannya, terbukti dari pupil mata yang melebar lebih besar selama bekerja. Dan ketika ia meyakini bahwa ia sedang mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam satu waktu, itu membuatnya terpacu menuntaskan semuanya dengan cepat.

Terlepas dari multitasking atau tidak, ibu masa kini memang harus mampu mengubah lelahnya menjadi lillah. Hanya dengan begitulah ia mampu bersahabat dengan stres yang menghampirinya. Hanya dengan begitulah ia bisa berdiri tegak meski tubuh dan pikirannya digerogoti capek dan penat.

Hanya dengan kesadaran mengubah lelah menjadi lillah-lah ibu dapat merecharge pikiran positif dan semangatnya setiap saat mulai ‘lowbatt’. Berlama-lama bersujud di hadapan Sang Khalik dan mencari Qur’an setiap saat pikiran terasa kusut dan emosi memuncak. Lalu tak ada salahnya menikmati secangkir kopi atau teh di penghujung senja.

Ketika ibu selalu mengupayakan mengubah lelah menjadi lillah, ibu terbiasa mengurangi frekuensi mengeluh. Karena ibu yakin, mengeluh akan menghabiskan lebih banyak energi. Awalnya mengeluh, lalu curhat, dan kebanyakan berujung pada menghujat orang lain tanpa menghadirkan solusi. Bukankah itu semua hanya akan mengurangi pahala mengurus si buah hati?

Ingat selalu, tidak ada seorang pun menginginkan pandemi hadir ke dalam kehidupan manusia. Yang perlu ibu lakukan adalah bersyukur dan selalu menjaga diri dan keluarga agar terhindar dari corona. Ibu harus selalu kuat agar bisa menyemangati buah hati tercinta.
 
Lelah adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Maka yang terpenting adalah bagaimana ibu bisa menyikapi lelah dengan jurus-jurus cerdas dan selaras ajaran agama.

Jangan biarkan daring memunculkan darting (darah tinggi), segeralah tersenyum dan beristigfar agar lelah ibu berganti menjadi lillah. Insya Allah.

 




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur