KEPERCAYAAN publik pada media sosial menurun drastis di tengah pandemi Covid-19. Sebaliknya, kepercayaan pada media massa berbasis internet atau media siber kembali naik secara cukup signifikan.
Selain karena masyarakat merasa perlu untuk mendapatkan informasi yang dapat dijadikan pegangan, “perubahan” ini juga didasarkan pada kenyataan bahwa media sosial semakin bias hoax dan hate speech.
Hal itu antara lain disampaikan pengamat media Tomi Satryatomo dalam webinar bertema “Salah Kaprah New Normal: New Normal Bukanlah Back To Normal” yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Partai Demokrat, Minggu malam (26/7).
Sebelumnya Tomi mengatakan, secara umum publik mendapatkan informasi dari empat sumber, yaitu media massa, media sosial, messaging service dan obrolan di dunia nyata.
“Ketika masa wabah ada kecenderungan media sosial kehilangan trust dari penggunanya dan pengiklannya. Sepanjang bulan Juli, korporasi besar di Amerika Serikat terutama mengatakan mereka pausing atau jeda dan tidak lagi beriklan di media sosial,” ujar Tomi.
“Mereka (pengiklan) tidak happy, tidak puas dengan cara pengelola media sosial memperlakukan fake news, hoax, yang begitu besar,” sambungnya.
Masyarakat pernah memiliki penilaian bahwa pembicaraan di media sosial bersifat genuine dan mencerminkan diskursus yang berkembang di dunia nyata.
“Bahkan media sosial bahkan sempat menentukan agenda media massa,” ujar Tomi.
Namun lama kelamaan, media sosial semakin kerap menjadi instrumen untuk menyebarkan kebencian dan kabar bohong. Influencer juga kerap menjadi pekerjaan untuk menyampaikan disinformasi.
“Trending topic juga tidak bisa lagi dijadikan pegangan bahwa sebuah tema benar-benar trending. Karena ada banyak akun robot yang dilibatkan,” sambungnya.
Di sisi lain, walaupun masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, namun media massa lebih bisa diandalkan karena ada kode etik yang dijadikan pedoman dalam proses kurasi informasi.
Belum lagi, untuk kasus Indonesia, ada Dewan Pers yang dapat mengontrol konten yang ditayangkan media massa.
Pernyataan Tomi itu dibenarkan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa yang juga menjadi pembicara dalam forum yang sama.
Menurut Teguh, masyarakat memiliki rekaman yang kurang baik mengenai peran media sosial dalam beberapa kompetisi politik beberapa waktu lalu. Dia menyebut pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017, pilkada serentak 2018, dan terakhir pemilihan umum dan pemilihan presiden 2019.
“Kita menyaksikan bagaimana media sosial, seperti yang Mas Tomi tadi sampaikan, berkecenderungan untuk menyebarkan hate speech, spinning, disinformasi dan seterusnya,” ujar Teguh yang juga pendiri Farah.id.
Kepercayaan publik kepada media online mulai bangkit di bulan Maret
“Ketika kita dihadapkan pada situasi Covid-19, publik kelihatan sekali berusaha untuk mencari sumber informasi yang cepat tetapi bisa dipercaya. Pilihannya adalah media massa berbasis internet, atau media online,” demikian Teguh Santosa.
KOMENTAR ANDA