TAMU DI's Way kali ini beda. Dia masih remaja. Cantik, cerdas, dengan tinggi badan 183 cm. Saya harus agak mendongak ketika menyapa kedatangannyi di Harian DI's Way News House, Selasa lalu (28/7).
Namanya: Christy Lorentz. Christy baru saja lulus dari SMA swasta terkemuka di Surabaya. Christy
sebenarnya langsung diterima di Toronto University, Kanada. Tapi Covid-19 membuatnya tidak bisa segera berangkat ke sana. "Masih belum tahu kapan," ujar Christy.
Yang menarik dari Christy adalah prestasi belajarnya. Terlebih bagaimana untuk meraih prestasi itu. Lewat percaya dirinya yang tinggi. Hampir saja Christy jadi korban bully. Hampir saja bully itu menghancurkan impiannya. Tapi, akhirnya, Christy mampu mengatasi gejolak di dalam dadanyi. Dia bangkit. Dia justru termotivasi oleh bully itu. Dan dia memperoleh nilai sempurna.
Itulah capaian nilai Christy saat dia lulus SMA barusan. Yang memberi nilai itu IB (International Baccalaureate). Sekolah Christy memang ikut sistem pendidikan yang berpusat di Geneva, Swiss, itu.
Di Indonesia terdapat 52 SMA yang ikut program IB, -empat di antaranya di Surabaya: Cita Hati, Surabaya Intercultural School, Gandhi Memorial, dan Ciputra. Anggota IB di Indonesia memang tidak sebanyak yang ikut program Cambridge.
Sistem IB lebih ke pemahaman konsep. Sedang sistem Cambridge mirip sistem di Indonesia: lebih ke pemahaman pengetahuan. Christy sangat tertarik pada sistem IB. Yang disimpulkan dalam satu kredo ini: How we know what we know.
Tidak mudah bagi Christy untuk mendapat nilai sempurna itu. Banyak air mata untuk sampai di sana. Bahkan memerlukan keberanian ekstra. Misalnya ketika awalnya Christy 'hanya' mendapat nilai 44. Sebenarnya itu sudah sangat bagus. Nilai maksimal adalah 45. Dua sudah begitu mepet dengan yang sempurna itu. Sudah banyak yang memuji Christy. Pun orang tua Christy.
Mendapat nilai begitu baik siswa pada umumnya tentu sudah puas. Tapi Christy merasa ada yang salah. Christy merasa seharusnya bisa mendapat nilai penuh.
Dia tahu IB bukan lembaga yang tertutup. IB sendiri sudah mengumumkan: terbuka untuk disanggah. Hanya saja ada syaratnya. Penyanggah harus punya bukti yang kuat. IB akan menilai ulang secara objektif.
Tapi nilai ulang itu bisa saja justru membuat nilai penyanggah turun. Meski bisa juga tetap. Atau naik. Syarat lainnya adalah: membayar uang sanggah. Yang kalau sanggahan itu berhasil, uang kembali. Yang kalau gagal uang hilang. Nilainya –dalam rupiah– sekitar Rp 1,5 juta.
Christy bertekat menyanggah nilai 44 itu. Ketika niat itu disampaikan ke orang tua, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Christy. Demikian juga ketika disampaikan ke para pembina di sekolah. Semua menyerahkan keputusan ke Christy.
Tekad pun bulat. Dia penuhi semua yang disyaratkan. Sebulan kemudian Christy mendapat pemberitahuan: nilainyi diperbaiki. Menjadi nilai sempurna, 45.
Sebenarnya Christy bukan anak yang ambisius untuk nilai. Tapi dia begitu ingin membuktikan bahwa kata-kata bully yang pernah dia dengar itu salah. Justru karena pernah diremehkan itulah yang membuat Christy teguh untuk meraih nilai sempurna.
Waktu itu, ketika kata-kata bully itu disampaikan padanya, Christy sampai menangis. Malamnya dia menangis lagi. Lebih lama. Perasaannyi hancur. Terutama karena bully itu datang dari orang yang paling dia hormati.
Kalau yang mem-bully adalah teman atau orang yang dia tidak kenal, Christy tidak akan seterpukul itu. Tapi ini justru diucapkan oleh orang yang selama ini dia jadikan panutan.
Seperti apa sih kata-kata bully itu sampai begitu hebatnya memukul jiwa Christy?
Christy tidak segera menjawab pertanyaan saya itu. Dia diam. Lama sekali. Menunduk. Matanya berkaca-kaca. Pipinyi memerah. Rambutnya menjuntai menutupi pipi. Hanya kacamatanya yang seperti menahan air mata itu menetes.
"In English, ok," sela saya. Siapa tahu kalau diucapkan dalam bahasa Inggris bully itu lebih bisa terucapkan. Lidah Christy lebih Inggris dari Indonesia.
Dia tetap saja diam. Pandangannya ganti ke arah jauh. Matanya tetap sembab.
"说中文也可以, " sela saya lagi dalam bahasa Mandarin. Saya tahu dia bisa berbahasa Mandarin.
Dia tetap diam.
Saya biarkan saja dia diam. Sampai emosinya mereda. Tapi saya tetap ingin tahu: kata-kata bully seperti apa yang bisa membuat seorang remaja begitu merana. Setidaknya saya akan belajar untuk diri saya sendiri. Terutama dalam menghadapi cucu-cucu yang sudah berangkat remaja.
Akhirnya Christi berucap. Lirih. Hampir tidak terdengar. Terutama di telinga orang yang hampir 70 tahun seperti saya. Jawaban Christy akhirnya jelas diucapkan. Justru saya yang kini merasa kurang jelas: benarkah jenis kata-kata seperti itu saja sudah bisa merusak jiwa seorang remaja?
KOMENTAR ANDA