KOMENTAR

KEPERGIAN seseorang untuk selamanya membawa duka teramat mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Terlebih jika seseorang itu adalah orang terdekat. Ayah, ibu, kakek, nenek, kakak, adik, guru, atau sahabat yang menjadi panutan maupun pendukung terbesar dalam sejarah hidup kita.

Dengan duka yang menggelayut di hati dan pikiran keluarga, kita wajib menghargai perasaan mereka dan menghormati privasi mereka saat melayat ke rumah duka. Terlebih sebagai Muslim, kita harus memerhatikan adab melayat orang meninggal.

Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum takziah adalah sunnah. Umat Muslim sangat dianjurkan bertakziah sebagai bentuk dukungan untuk menguatkan mental orang yang tertimpa musibah. Kedatangan kita diharapkan dapat menjadi penyemangat agar keluarga selalu sabar dan ikhlas menerima kepergian almarhum.

Dalam Al-Adab fid Din, Imam Al Ghazali menjelaskan 4 (empat) adab takziah yang harus menjadi perhatian kita.

Pertama: menghindari hal yang tidak pantas atau tabu. Misalnya saja bersolek dan berpakaian berwarna mencolok, glamor, atau seksi, mengenakan banyak perhiasan, juga berdandan menor.

Hal tersebut jelas tidak sesuai dengan kondisi berkabung yang penuh kesedihan dan kepasrahan kepada Rabb Yang Maha Menguasai. Bagaimanapun juga, kita harus menjunjung asas sopan santun dan kepatutan.

Apa tujuan kita berlebihan dalam penampilan? Ingin dipuji dan membuat orang berdecak kagum? Ingat, ini bukan pesta. Penampilan seperti itu justru berkesan kita tidak menghormati perasaan keluarga yang ditinggalkan.

Kedua: menampakkan duka. Bukan berarti kita harus menangis meraung-raung meskipun kita mungkin tidak bisa menahan derai air mata. Yang harus kita lakukan adalah mengucapkan belasungkawa untuk menyampaikan support kita atas kehilangan orang tercinta. Setelah itu, kita berdoa.

Suatu ketika Ummu Salamah memberi tahu Rasulullah bahwa suaminya (Abu Salamah) telah wafat. Abu Salamah adalah salah satu sahabat terbaik yang dimiliki Rasul. Keimanan dan kesalehannya demikian utama. Apa yang diucapkan Rasul dalam doa beliau?

Rasulullah saw. berkata, “Ya Allah, ampunilah aku dan ampunilah dia, dan berilah aku pengganti yang lebih baik.”

Makna kalimat “berilah aku pengganti yang lebih baik” adalah dalam konteks sahabat yang dimiliki Rasul.

Saat seseorang baru saja meninggal dunia, para malaikat masih berada di sekelilingnya. Karena itulah kita tidak boleh menyia-nyiakan waktu mustajab tersebut. Kita memohon ampunan bagi orang yang meninggal sekaligus mendoakan diri sendiri.

Ummu Salamah pun mengikuti apa yang dikatakan Rasulullah. Dan wallahu a’lam, perempuan mulia itu kemudian dilamar oleh seseorang yang memiliki akidah dan akhlak yang lebih baik dari mendiang suaminya. Dialah Muhammad saw.

Ketiga: tidak banyak berbicara. Dalam keadaan duka, entah itu seseorang yang meninggal akibat sakit bertahun-tahun maupun meninggal mendadak, banyak anggota keluarga yang ditinggalkan biasanya masih belum bisa mencerna dengan jernih apa yang terjadi. Pikiran mereka bisa jadi masih mencoba menyangkal kepergian orang tercinta.

Maka marilah kita memberi ‘ruang’ pada mereka untuk berduka lalu berdamai dengan takdir Allah. Mereka masih ingin memandangi wajah orang tercinta atau masih ingin memeluk jasad yang telah terbaring kaku. Mereka tak ingin banyak bicara. Maka janganlah kita terlalu banyak bertanya, berkata, atau bahkan tertawa terbahak-bahak. Hal itu akan sangat mengganggu.

Jangan sampai pula kesedihan membawa kita mengucapkan hal-hal yang tidak baik seperti “mengapa dia yang mati, mengapa bukan saya” atau “cabut saja nyawa saya, ya Allah…saya tidak sanggup hidup tanpanya”. Jangan main-main dengan apa yang kita ucapkan karena malaikat siap mengaminkannya.

Keempat: tidak mengumbar senyum yang dapat menimbulkan ketidaksukaan. Sudah jelas, senyum adalah salah satu tanda seseorang merasa senang, berbunga-bunga, penuh kegembiraan dan kepuasan. Maka bagaimana mungkin kita bisa mengumbar senyum di hari penuh air mata dan duka lara?

Senyum memang satu bentuk sedekah. Senyum juga menjadi satu awal indah untuk merajut silaturahim. Namun dalam suasana berkabung, mengumbar senyum menjadi sesuatu yang dilarang dilakukan oleh kita yang bertakziah. Senyum kita akan menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidaksukaan bagi keluarga yang berduka.

Dari empat adab di atas, sudahkah kita lakukan semuanya saat bertakziah?

Kita banyak melihat di media sosial bagaimana takziah dijadikan ajang reuni. Walhasil, kesedihan dan rasa kehilangan tertutupi oleh kegembiraan bertemu teman lama atau anggota keluarga besar yang sudah lama tak bersua. Kita memang harus menghibur hati yang lara, tapi amat tidak bijak jika mengabaikan suasana berkabung yang khidmat.

Kemudian di saat ziarah, 4 adab tadi hendaknya kita tetap pegang teguh dan laksanakan. Tujuan ziarah kubur adalah agar kita dapat beristighfar, memohon ampunan, juga bertekad menjadi Muslim yang lebih baik karena kita mengingat kematian. Menghayati bagaimana kita akan dikubur di liang lahat tanpa seorang pun menemani kecuali amal saleh yang kita kerjakan semasa hidup.

Sama halnya ketika menjenguk seseorang yang sedang terbaring tak berdaya dalam kondisi fisik yang amat lemah. Jauhilah keinginan untuk bercanda dan mulailah berkata hal-hal yang mengandung kebaikan. Diam jauh lebih baik daripada kita mengatakan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Dr. Khalid Basalamah, MA mengatakan bahwa ada 70 ribu malaikat mengiringi kita yang melangkahkan kaki menjenguk orang sakit sampai kita meninggalkan tempat itu. Karena itulah tempat itu menjadi sangat mulia untuk memohon berbagai kebaikan karena malaikat siap mengamini.

Doakanlah si sakit dengan permohonan “Semoga Allah menyembuhkanmu, semoga Allah menghapus dosamu”. Lalu basahi bibir kita dengan lafal “laa ilaaha illallaahi” untuk kebaikan diri kita dan juga bekal si sakit jika malaikat maut jadi mencabut nyawanya.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur