Angelina Jolie menemui keluarga korban perang di Mosul Barat Irak/ Foto: UNHCR-Andrew McConnell.
Angelina Jolie menemui keluarga korban perang di Mosul Barat Irak/ Foto: UNHCR-Andrew McConnell.
KOMENTAR

DI balik gemerlap karirnya di Hollywood dan kehidupan pribadinya yang pasang surut, Angelina Jolie Voight dikenal sebagai Goodwill Ambassador Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) sejak tahun 2001.

Sebagai duta kemanusiaan dari badan PBB yang mengurusi para pengungsi di seluruh dunia tersebut, Angie telah mengunjungi banyak negara untuk melihat dari dekat kehidupan para pengungsi.

Siapa sangka, film Lara Croft (2001) yang awalnya sempat ditolak Angie justru membawa kebahagiaan abadi baginya. Saat syuting sebagian adegan film tersebut di Kamboja, perempuan kelahiran 4 Juni 1975 itu menyaksikan keindahan alam dan keunikan budaya Kamboja serta kemiskinan yang melilit negara tersebut.

Apa yang Angie lihat di Kamboja membuat matanya terbuka lebar. Ia pun mulai terpanggil untuk melakukan aktivitas kemanusiaan. Gayung bersambut, UNHCR menggandengnya menjadi duta kemanusiaan yang memungkinkannya berkeliling dunia untuk bertemu para pengungsi.

Selain Kamboja, Angie juga pernah mengunjungi Thailand, Myanmar, Bangladesh, Pakistan, Irak, Afganistan, Lebanon, Mesir, Yordania, Turki, Peru, Kolombia, Kenya, Chad, Tanzania, Haiti, Bosnia, dan negara lainnya.

Atas pengabdian yang luar biasa selama 11 tahun, UNHCR menunjuk Angie sebagai Utusan Khusus (Special Envoy) pada April 2012. Status tersebut membuat Angie memiliki peran lebih luas. Ia mewakili UNHCR pada tingkat diplomatik, berkoordinasi dengan para pengambil keputusan, menjalankan fungsi advokasi, serta berperan aktif mencarikan tempat aman bagi para pengungsi keluar dari negara mereka. UNHCR menyebutkan bahwa Angie sudah terlibat dalam lebih dari 60 misi kemanusiaan.

Angie menjadikan kemanusiaan sebagai dedikasinya bagi sesama manusia. Mengutip IMDb, Angie bermain film sebagai sarananya menghasilkan uang yang dibutuhkan untuk menjalankan dedikasi tersebut. Angie menyisihkan budget khusus pribadi diperuntukkan untuk membiayai berbagai kegiatan kemanusiaan yang ia lakukan.

Sosok Angelina Jolie merupakan satu ikon selebriti yang tidak hanya menggelontorkan uang untuk membantu sesama tapi terjun langsung memotivasi, menghibur, mendidik, serta mencarikan tempat baru bagi para pengungsi yang menderita trauma akibat perang dan konflik berkepanjangan lain di negara asal mereka.

Kebahagiaan yang diperoleh Angie bertambah seiring keputusannya untuk mengadopsi anak dari beberapa negara pengungsi. Semua berawal dari Kamboja. “Kamboja adalah negara yang membuat mata saya terbuka terhadap pengungsi. Saya bergabung dengan UNHCR dan terlibat dalam urusan luar negeri yang tidak pernah saya alami sebelumnya. Dan yang lebih menakjubkan adalah Kamboja membuat saya menjadi seorang ibu,” kenang Angie.

Angie mengadopsi Maddox Chivan asal Kamboja tahun 2002, Zahara Marley asal Ethiopia tahun 2005, dan Pax Thien asal Vietnam pada tahun 2007. Adapun dari pernikahannya dengan Brad Pitt, Angie memiliki tiga anak biologis yaitu Shiloh Nouvel (lahir 2006) serta si kembar Knox Leon dan Vivienne Marcheline (lahir pada 2008).

Angie tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa tiga anaknya adalah hasil adopsi. Menurut pemeran Maleficent itu, ia memang tidak bisa menceritakan kisah kehamilan dan proses kelahiran Maddox, Zahara, dan Pax. Tapi, ia selalu punya kisah tentang bagaimana pertama kali mereka bertemu.

Bagaimana ia menemukan mereka, bagaimana mata mereka saling memandang untuk pertama kali, dan misteri indah yang menyelimuti hatinya saat menatap mereka. Ya, Angie tak pernah bisa melupakan perasaan saat jatuh cinta pada pandangan pertama dengan anak-anak adopsinya.
Dengan beragam ras dan budaya, Angie tidak ingin anak-anak melupakan asal-usul mereka. Dalam wawancara dengan Vogue India, Angie mengatakan pentingnya menghormati akar leluhur dari anak-anak adopsinya.

“Maddox, Zahara, dan Pax merupakan misteri indah yang mengisi hidup saya. Mereka datang dari ras yang berbeda dan tanah asing yang jauh, itulah misteri, itulah anugerah. Mereka tidak boleh menjadi asing dengan asal usul mereka. Mereka memiliki akar budaya yang tidak saya punya. Saya menghormati mereka dan belajar dari mereka. Hal itu menjadi perjalanan yang paling mengagumkan,” ujar Angie.

Keberagaman yang mewarnai kehidupan Angie dengan keenam anaknya sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan. Angelina Jolie ternyata juga memiliki garis leluhur yang beraneka ragam. Ayahnya, Jon Voight, memiliki garis keturunan Jerman dan Slovakia. Sementara ibunya, Marcheline Bertrand, memiliki garis keturunan asal Perancis, Kanada, Belanda, Polandia, dan Amerika. Mungkin dari keberagaman itulah Angie mewarisi paras menawan yang unik.

Dalam kehidupan sehari-hari, Angie dan keenam anaknya juga terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris dan bahasa Perancis. Masing-masing anak juga memiliki ketertarikan terhadap bahasa asing yang berbeda-beda dan mempelajarinya.

Bicara tentang pekerjaannya di UNHCR, Angie bukan sekadar datang ke kamp pengungsian, menghibur, dan berbincang dengan para pengungsi.

Ia berusaha menggali apa yang dirasakan para pengungsi sekaligus mencari solusi untuk menghilangkan trauma yang mereka rasakan, memulihkan kesakitan fisik maupun mental mereka, juga menemukan solusi tepat untuk masa depan mereka—termasuk tentang pendidikan, kesehatan, dan rumah baru. Karena itulah, ia pasti mengulang kunjungannya untuk bisa melihat kemajuan dari apa yang sudah dirintis dan diperjuangkan.

Angie terlibat secara mendalam baik secara pemikiran, tindakan konkret, maupun perasaan dengan para pengungsi. Pada World Refugee Day yang jatuh tanggal 20 Juni lalu, Angie ‘dipertemukan’ kembali dengan Chantale Zuzi, alumnus RefuSHE Nairobi asal Kenya melalui Zoom call yang eksklusif ditayangkan BAZAAR.com. Angie dan Chantale bertemu di Kenya tiga tahun lalu.

RefuSHE adalah sebuah NGO yang fokus pada pengungsi perempuan di Afrika Timur berusia 13-23 tahun yang mengalami kekejaman perang, kekerasan seksual, kehilangan keluarga, maupun kemiskinan.

Komunitas ini menyediakan rumah perlindungan, konseling trauma, serta program pendidikan dan keterampilan. Anak-anak perempuan dididik untuk bisa mandiri dan produktif. Mulai dari belajar matematika, Bahasa Inggris, kepemimpinan, hingga keterampilan berbisnis melalui penjualan produk fesyen buatan sendiri.

Dalam pertemuan virtual tersebut, Chantale menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Angie atas apa yang dia perbuat bagi para pengungsi. Remaja perempuan itu tinggal di Woscester, Massachussets sejak tahun 2018 dan memiliki orangtua asuh yang sangat menyayanginya. Ia bisa bersekolah juga menonton film dan drama yang merupakan hobinya.

Karena Chantale memiliki masalah penglihatan (limited vision), para guru di SMA Burncoat menyediakan perangkat CCTV yang memungkinkannya mencatat di saat yang bersamaan dengan teman-teman sekelasnya. Chantale juga aktif di Massachussets Commision for The Blind serta melakukan advokasi bagi para pengungsi di berbagai daerah.

Menurut Chantale, aktivitas sosial yang ia lakukan adalah caranya bersyukur dan bermanfaat dalam masyarakat. UNHCR dan organisasi lain yang peduli pada pengungsi telah mengubah hidup mereka ke arah yang jauh lebih baik. “Saya akan membuat negara saya bangga dan saya juga akan membuat Amerika bangga kepada saya,” ujar Chantale.

Menanggapi Chantale, Angie mengatakan bahwa ialah yang terinspirasi dan belajar dari pengungsi seperti Chantale. Angie ingat betul saat pertama bertemu remaja putri itu. Chantale adalah seorang anak perempuan yang sangat ramah, murah senyum, dan memiliki semangat belajar yang luar biasa.




Isyana Bagoes Oka, Jurnalis yang Kini Jadi Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

Sebelumnya

Ni Luh Puspa, Perempuan Asal Bali yang Mengemban Tugas Sebagai Wakil Menteri Pariwisata

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women