RASANYA hampir semua self-care practise sudah kita jalani. Mulai dari yoga, jogging, gowes, jadi member komunitas sehat yang sedang happening, menyantap makanan sehat, diet keto, minum air putih 2 liter sehari, detoksifikasi dengan rajin minum jus aneka buah, menggunakan aromaterapi, mengikuti tahapan skincare Korea untuk merawat kulit wajah, membaca buku-buku pembangkit semangat, hingga menekuni hobi untuk menyibukkan diri. You name it.
Selama matahari bersinar, rasanya energi kita meluap-luap. Kita melakukan banyak hal dengan senyum mengembang. Tapi entah mengapa, begitu gelap datang, kita mulai merasa hampa.
Ada rasa tidak nyaman yang membuat mata sulit terpejam. Itu terjadi berulang hampir setiap malam sekalipun diffuser di kamar sudah menyebarkan wangi lavender yang menenangkan.
Pada akhirnya, semua tindakan self-care yang sudah dijalani tidak membawa ketenteraman batin dan kesehatan tubuh. Jika itu yang terjadi, berarti ada sesuatu yang salah pada diri kita—terutama berkaitan dengan pikiran, mental, dan emosi.
Jangan-jangan, kita menjalani semua self-care practise tadi hanya untuk ikut-ikutan. Biar mengikuti tren. Karena rasanya tak keren bila tidak ikut gaya hidup sehat.
Ternyata, aktivitas self-care akan sangat berkontribusi positif manakala kita sudah menghujani diri dengan self-love. Ketidaknyamanan diri yang kita rasakan tidak akan sirna dengan kegiatan fisik atau uap aroma lavender, peppermint, hingga camomile.
Ketika sibuk melakukan self-care practise tapi hati dan pikiran belum bisa jernih dari berbagai trauma, pembatasan diri, maupun penyangkalan, maka self-care practise menjadi ‘ceremony’ belaka.
Apa saja yang menghalangi kita mencintai diri sendiri?
Banyak faktor yang mempengaruhi. Masa kecil kita salah satunya. Misalnya saja, orangtua dan adat istiadat melarang kita untuk menyimpan dalam hati ketidaksukaan kita terhadap sesuatu. Atau, sebagai anak perempuan, kita dididik untuk selalu melayani suami dan menerima apa pun perlakuan suami.
Hal-hal semacam itu menjelma menjadi pertentangan batin seiring kita mendewasa. Dengan berbagai pengetahuan yang kita dapatkan ditambah pengalaman hidup, pemikiran kita bisa jadi menolak semua doktrin yang kita pegang teguh sejak kecil.
Kita bisa berdiskusi dengan ustaz juga psikolog untuk mencari tahu solusi tepat mengakhiri pertentangan batin kita. Bagaimana memberi pemahaman pada diri sendiri bahwa yang terpenting adalah tetap berpegang pada nilai kebaikan, moral, dan agama. Bukan berarti kita berdosa jika tidak menyetujui petuah nenek kakek di masa lalu.
Menyuarakan ketidaksetujuan terhadap sesuatu adalah satu cara kita mengungkapkan isi kepala, melatih bagaimana menghargai perbedaan pendapat dengan orang lain, juga membuat otak kreatif mencari solusi berbeda yang lebih efektif.
Karena itulah, bersuara bukan berarti membangkang. Memendam perasaan tidak suka atau perasaan bersalah hanya akan menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Hal itu yang membuat kita seperti tidak nyaman dengan diri kita sendiri.
Mari menggali diri lebih dalam untuk tahu apakah masih ada ‘dendam’ terpendam yang mengisi relung hati kita. Kita uraikan satu demi satu agar hati menjadi bersih.
Ketika hati kita sudah tidak dihantui permasalahan dari masa lalu, akan lebih mudah kita menerima kelebihan dan kekurangan kita saat ini. Dan itulah self-love.
Yuk, cintai diri sendiri dengan cara positif.
KOMENTAR ANDA