Asro Kamal Rokan, Wartawan senior
NAQUIB MAHFUDZ dan Taufiq Al-Hakim sastrawan besar Mesir. Karya-karya mereka diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Mahfudz (1911-2006) mendapatkan Nobel Sastra pada 1988. Salah satu novelnya yang banyak digemari, berjudul Karnak Cafe (1974).
Karnak Cafe bercerita tentang suasana politik di Mesir pada era 60-an. Intrik, pengkhianatan, saling curiga, dan idealisme, campur-baur di tengah kecemasan semasa rezim Presiden Gamal Abdul Nasser. Di kafe itu, anak-anak muda berdiskusi politik dengan paham berbeda. Ada yang berafiliasi pada Ikhwanul Muslimin, komunis, dan sosialis. Beberapa di antara mereka ternyata intel pemerintah, yang menjebak teman diskusinya. Akibatnya, ada yang tiba-tiba hilang, juga dipenjara.
Saya membaca Karnak Cafe sejak lama. Saat di Kairo, Oktober 2010, saya ingin mengunjungi cafe bersejarah itu. Kami tiba di lorong sempit Pasar Khan el Halili, menemukan Naquib Mahfudz Cafe. Minum cai dan makanan Mesir. Belakangan, saya tahu Karnak Cafe bukan di situ, melainkan di sekitar Jalan Al-Mahdi. Tapi tidak apa-apa, saya telah membayangkan suasana yang sama.
***
SASTRAWAN besar lain, Taufiq Al Hakim (1898-1987). Setelah lulus studi Ilmu Hukum di Mesir, Taufiq -- berdarah Arab dan Turki -- ini pada 1925 melanjutkan pendidikannya di Paris, Prancis. Di sini, Taufiq yang sudah menulis karya sastra sejak remaja, menghabiskan waktunya menonton opera, drama, dan musik klasik.
Kembali ke Mesir, Taufiq menulis banyak novel dan naskah drama. Novelnya antara lain Usfour min Al-Sharq (Bird from the East), 1938; Ash’ab Malik Al-Tufaylayin (Ash’ab King of the Parasites) 1938; dan Raqisat Al-Ma’bad (Temple Dancer), 1939. Sedangkan naskah dramanya antara lain Ahl Al-Kahf (People of the Cave), 1933; Al-Malik Udib (King Oedipus), 1949; dan Al-Aydi Al-Na’ima (Tender Hands), 1959.
Karya-karya Taufiq umumnya berbau metafisis dan filsafat. Beberapa karyanya menjadikan setan dan malaikat sebagai tokoh utama, satu di antaranya "Setan dalam Bahaya." Naskah drama ini diterjemahkan Ali Audah, dimuat di majalah sastra Horison, Juni 1978 halaman 182-186. Saya membaca melalui Horison bekas, semasa remaja di Medan. Tadi malam saya membaca lagi copy pdf naskah tersebut.
Drama ini diperankan tiga tokoh, seorang filusuf, istri filsuf, dan setan. Ruang yang digunakan hanya satu, yakni ruang kerja filsuf dengan timbunan buku, majalah, dan pesawat telepon.
Ceritanya bermula dari kedatangan setan ke ruang kantor filsuf, malam hari.
Setan : Mudah-mudahan tampangku tidak terlalu mengecewakan dugaanmu.
Filsuf : Sebaliknya. Tampangmu sama sekali tidak berbeda dengan yang bisa kami lihat dalam gambar-gambar. Bajumu yang merah..... kedua tandukmu yang kecil... sepasang mata yang menyala... hidungmu yang panjang... dan bentuk badan yang kurus kecil.
Setan : Aku tidak mengerti bagaimana orang melukiskan aku dengan bentuk semacam itu. Tetapi kalau selama ini memang itu yang kau kenal, akupun akan memakai itu. Kebohongan yang sudah dikenal orang, lebih baik daripada kebenaran yang masih tersembunyi.
Setan datang menemui filsuf minta tolong memikirkan agar dia terlepas dari bahaya. Filsuf tentu heran setan dalam bahaya, terancam akan punah. "Aku gemetar dalam ketakutan sekarang," kata Setan.
Dialog-dialog dalam drama pendek ini, semakin menarik. Setan menjelaskan bahaya yang mengancamnya, yakni peperangan yang dilakukan manusia. Bom-bom atom dan peluru-peluru kendali akan menghancurkan dunia dan membinasakan umat manusia.
"Hidupku bergantung kepada manusia. Dimana ada manusia di situ ada aku. Kalau terjadi kiamat dan segalanya berakhir, maka akupun bersama yang lain berada di depan di tempatku, harus menemui nasibku yang sudah termaktub serta kesudahanku yang tak dapat dielakkan lagi," kata Setan menghiba dan meminta Filsuf memikirkannya.
Jawaban Setan itu mengejutkan Filsuf. "Jadi kalau begitu, perang yang akan datang, yang akan menghancurkan segalanya itu, tidak menguntungkan kau?"
Setan menjawab, "Sama sekali tidak."
"Aneh!," kata Filsuf, "Dunia semua menduga, setanlah yang menggoda pemimpin-pemimpin negara besar itu supaya mereka mengobarkan api peperangan yang akan datang. Sekarang malah kau sendiri mau cuci tangan dan mau mungkir....."
Setan membantah tuduhan itu. "Tuan yang terhormat, sudah gilakan aku mau membakar dunia ini seluruhnya, termasuk aku sendiri di dalamnya?"
Pertukaran dialog Filsuf dengan Setan terus berlangung. Setan mengaku sudah membisikkan kata-kata damai kepada para pemimpin dunia agar perang tidak terjadi. Namun tidak berhasil. Kata-kata damai telah berubah artinya, sama dengan perang. Itulah sebabnya dia menemui Failsuf agar memikirkan perang dihentikan.
Setelah berpikir, Filsuf setuju mencari cara menghentikan perang. Setan sangat gembira. Namun tidak lama. Filsuf minta upah atas waktu yang digunakan untuk memikirkan perdamaian. Setan terkejut dan sangat heran, betapa untuk urusan kepentingan umat manusia pun, Filsuf meminta upah.
Filsuf: Aku selalu bekerja demi keperntingan umat manusia. Tapi ini tidak menghalangi aku menerima imbalan dalam menyiarkan karangan dan pikiran-pikiranku.
Setan : Engkau sekarang berpikir untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran!
Filsuf : Sarjana-sarjana yang sekarang sedang sibuk membuat bom atom dan hidrogen, yang akan membinasakan segala yang ada, adakah mereka melakukan itu demi Tuhan?
Setan : Aku mengira kau hanya memperhatikan cita-cita luhur saja.
Filsuf: Aku memahami keadaanmu. Engkau berhak hanya memikirkan cita-cita luhurmu saja, sebab kau seorang diri.... tidak punya isteri.
Setan : Apa kau sudah beristeri?
Filsuf : Tentu. Itu sebabnya aku jadi seorang filsuf. Setiap suami yang sudah hidup beristeri selama sepuluh tahun atau lebih dia filsuf. Tanpa diperlukan belajar sebatang huruf pun tentang filsafat.
Di saat perdebatan itu, istri Filsuf masuk dan berteriak marah-marah. Keduanya bertengkar hebat dari soal pembayaran listrik hingga keuangan rumah tangga.
Istri : Jadi apa sajalah. Tapi aku yang berkuasa dalam rumah ini.
Filsuf : Dan aku yang dikuasai.
Istri : Tidak mungkin dalam satu rumah ada kekuasaan dan dua kepengurusan. Hanya satu perintah, satu penguasa.
Filsuf: Yaitu akulah.
Istri : Tidak. Malah aku inilah.
Setan -- yang tidak terlihat istri Filsuf -- kaget mendengar pertengakaran suami-istri itu. Apalagi ketika istri Filsuf menyebut ada pihak ketiga di antara mereka, yang membujuknya untuk mengambil botol tinta dan akan melemparkannya. Pihak ketiga itu setan.
Merasa dituduh, padahal sejak tadi dia hanya mendengar pertengkaran, Setan berbisik kepada Filsuf. "Kejam sekali. Percaya kau bahwa aku yang mengatakan kepadanya supaya berbuat begitu?"
Pertengkaran suami-istri itu memuncak. Istri Filsuf siap-siap melemparkan botol tinta warna merah -- yang disebut Filsuf sebagai bom atom. Filsuf minta tolong pada Setan untuk meredakan situasi ini. Setan menolak, karena dia datang justru minta tolong memikirkan agar dunia tidak berperang.
Sambil siap-siap pergi, Setan berkata, "Aku kecewa bertemu dengan kau."
Filsuf berusaha menahan Setan dan minta tolong. "Kau mau pergi? Dan meninggalkan aku berada dalam ancaman. Tolong, tolonglah aku."
Setan menjawab," Biarlah aku menolong diriku sendiri lebih dulu dari tempat ini, sebelum bom atommu itu kalian lemparkan dalam kamar ini," bisik Setan yang ketakutan melihat perang suami-istri itu.
Setan pun buru-buru pergi.
***
DRAMA Setan dalam Bahaya ini telah dipentaskan berbagai teater, termasuk Teater Populer. Melalui naskah drama ini, Taufiq al Hakim -- peletak dasar drama Mesir modern dan menjadikan drama sebagai genre sastra di dunia Arab -- menertawakan perilaku manusia, termasuk kita.
Taufiq Al-Hakim tidak saja penulis naskah drama yang handal, tapi juga penulis novel yang dikagumi di Mesir. Salah satu karya besarnya adalah Awdat Al-Ruh (Return of the Spirit) yang terbit pada 1933. Peraih Nobel sastra Naquib Mahfudz menyebut, novel Awdat Al-Ruh sangat mempengaruhinya. "Saya belum pernah membaca novel yang begitu indah, elegan, dan mudah. Awdat Al-Ruh mempengaruhi tulisan fiksi saya," kata Naqiub Mahfudz.
Novel Awdat Al-Ruh bertema nasionalisme, yang sekaligus mengungkap sifat jahat kolonialisme. Al-Hakim menggambarkan kondisi buruk negaranya pada 1882, ketika Inggris menguasai Mesir dari Kesultanan Ottoman. Barat, khususnya Inggris, telah melucuti Mesir, tidak hanya sumber dayanya, tetapi juga warisannya.
Karya-karya Al-Hakim, terutama Awdat Al-Ruh, menginspirasi pemuda Gamal Abdul Nasser memimpin Angkatan Bersenjata menggulingkan Raja Farouk 1 pada 1952. Ini diakui Nasser. Dua tahun kemudian, Nasser menjadi Presiden Mesir yang kedua, setelah menggulingkan dan menangkap Presiden Muhammad Naquib. Nasser juga menggelorakan Pan Arabisme.
Atas jasa sastrawan Taufiq al-Hakim itu pula, Nasser memberikan penghargaan tertinggi Republik Mesir kepada Al-Hakim dan menganggapnya sebagai Godfather of the Revolution.
Karya sastra sangat menginspirasi, bahkan -- karya Taufiq Al-Hakim -- mendorong revolusi.
KOMENTAR ANDA