KEHILANGAN penciuman sementara, atau anosmia, adalah gejala neurologis utama dan salah satu indikator Covid-19 yang paling awal dan paling sering dilaporkan.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa bahwa gejala itu umum di samping gejala lainnya seperti demam dan batuk. Tetapi mekanisme yang mendasari hilangnya bau pada pasien dengan Covid-19 masih belum jelas.
Tim peneliti internasional yang dipimpin oleh ahli saraf di Harvard Medical School (HMS) telah mengidentifikasi jenis sel penciuman di rongga hidung bagian atas yang paling rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
Anehnya, neuron sensorik yang mendeteksi dan mengirimkan indra penciuman ke otak bukan termasuk jenis sel yang rentan.
Dalam laporan yang dimuat dalam Science Advances pada Juli lalu, tim peneliti menemukan bahwa neuron sensorik penciuman tidak mengekspresikan gen yang mengkode protein reseptor ACE2, yang digunakan SARS-CoV-2 untuk memasuki sel manusia.
Sebaliknya, ACE2 diekspresikan dalam sel yang memberikan dukungan metabolik dan struktural untuk neuron sensorik penciuman, serta populasi sel induk dan sel pembuluh darah tertentu.
Temuan ini menunjukkan bahwa infeksi jenis sel nonneuronal mungkin bertanggung jawab atas anosmia pada pasien Covid-19 dan membantu menginformasikan upaya untuk lebih memahami perkembangan penyakit.
"Penemuan kami menunjukkan bahwa novel coronavirus mengubah indera penciuman pada pasien tidak dengan langsung menginfeksi neuron tetapi dengan mempengaruhi fungsi sel pendukung," kata penulis studi senior Sandeep Robert Datta, yang juga merupakan profesor neurobiologi di Blavatnik Institute di HMS.
Dia menambahkan bahwa hal ini menyiratkan bahwa dalam banyak kasus, infeksi SARS-CoV-2 tidak mungkin merusak sirkuit saraf penciuman secara permanen dan menyebabkan anosmia terus-menerus.
"Saya pikir ini kabar baik, karena setelah infeksi sembuh, neuron penciuman tampaknya tidak perlu diganti atau dibangun kembali dari awal," katanya.
"Tapi kami membutuhkan lebih banyak data dan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme yang mendasari untuk mengkonfirmasi kesimpulan ini," jelasnya, seperti dimuat di situs resmi Harvard Medical School.
Para peneliti juga menemukan bahwa mayoritas pasien Covid-19 mengalami beberapa tingkat anosmia. Namun yang sering terjadi adalah anosmia sementara.
Analisis catatan kesehatan elektronik menunjukkan bahwa pasien Covid-19 27 kali lebih mungkin mengalami kehilangan bau tetapi hanya sekitar 2,2 hingga 2,6 kali lebih mungkin mengalami demam, batuk atau kesulitan bernapas, dibandingkan dengan pasien tanpa Covid-19.
Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa anosmia pada Covid-19 berbeda dengan anosmia yang disebabkan oleh infeksi virus lain, termasuk oleh virus corona lain.
Misalnya, pasien Covid-19 biasanya memulihkan indra penciuman mereka selama berminggu-minggu, jauh lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk pulih dari anosmia yang disebabkan oleh subset infeksi virus yang diketahui secara langsung merusak neuron sensorik penciuman.
Selain itu, banyak virus yang menyebabkan hilangnya penciuman sementara dengan memicu masalah pernapasan bagian atas seperti hidung tersumbat. Namun, beberapa pasien Covid-19 mengalami anosmia tanpa penyumbatan hidung.
KOMENTAR ANDA