ADALAH Sutanto Mendut, sang Presiden Lima Gunung entah sengaja atau tidak sengaja menginspirasi atau lebih tepatnya menjerumuskan saya ke dalam black hole kirakiramologi.
Melalui sebuah diskursus lewat hape di suatu malam hari pada masa pageblug Corona adalah mas Tanto yang berkisah tentang persahabatannya dengan masyarakat pedesaan di lima gunung yang mengitari mau pun tidak mengitari istana kerajaan Lima Gunung di kawasan Mendut.
Kalbu saya terhenyak disrempet kesadaran kira-kira mirip konon Archimedes berseru atau berbisik “Eureka!” sambil telanjang bulat seperti dikisahkan Vitruvius ketika mas Tanto berkisah bahwa masyarakat pedesaan lima gunung memiliki falsafah tentang tafsir, pemikiran dan pendapat yang mereka ungkap dengan kata majemuk kira-kira.
Keterhenyakan kalbu saya makin diperparah tambahan istilah “yak e” dari Kepala Pusat Studi Humorologi, mas Yehana dipermantap oleh mahaguru kearifan leluhur Nusantara saya, mas Darminto dengan slogan metafisikal Madura “dak tentu”.
Secara leksikal kira-kira bermakna beraneka-ragam misalnya dugaan, sangkaan, agak-agak, hitungan, taksiran, rancangan, timbangan, pikiran, lebih-kurang, barangkali, sekitar, mungkin dan kira-kira entah apa lagi.
Secara lingustik kira-kira bisa disebut homonim akibat arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi jika digabung menimbulkan makna berbeda.
Kira-kira memiliki arti dalam kelas adverbia atau kata keterangan, maka kira-kira dapat memberikan keterangan kepada kata lain, nomina atau kata benda sehingga kira-kira dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan dan verba atau kata kerja sehingga kira-kira dapat menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya. Demikian kira-kira makna kira-kira.
Akibat makna kata kira-kira ternyata sedemikian kompleks dan beranekaragam, maka secara filsafati kira-kira memiliki makna luar biasa lentur bisa dikembangkan ke berbagai arah seolah tak kenal batas awal dan akhir.
Dapat dikatakan bahwa ilmu tidak pasti seperti ekonomi, sosiologi, psikologi, filsafat apalagi kelirumologi, andaikatamologi, humorologi, malumologi terutama kirakiramologi pada dasarnya adalah ilmu kira-kira.
Sementara ilmu yang disebut pasti seperti akuntansi, statistik, fisika, kimia, biologi apalagi kesehatan disebut ilmu pasti padahal sebenarnya juga ilmu kira-kira.
Suatu kesadaran pemikiran yang ternyata telah disadari oleh masyarakat pedesaan setara “cogito ergo sum”-nya Descrates yang dikoreksi Damasio atau kebingungan Hamlet versi Shakespeare serta kesablengan Don Quixote versi Cervantes atau The Science Delusion nya White serta keraguan Lao Tse tentang jangan-jangan manusia bermimpi menjadi kupu-kupu atau jangan-jangan kupu-kupu bermimpi menjadi manusia bermimpi menjadi kupu-kupu. Keraguan yang terkandung pada kira-kira tidak kalah dahsyat ketimbang keraguan Bertrand Russel, Soren Kierkegaard, Arthur Schopenhauer dan sejawat terhadap pemikiran diri mereka sendiri.
Wajar bahwa falsafah gaya kira-kira tidak disukai kaum cendekiawan mau pun agamawan yang tidak suka diganggu gugat dengan menggunakan dogma atau cetirus paribus demi membentengi pemikiran atau kebijakan mereka dari keraguan apalagi perlawanan.
Di lain sisi, menurut mahaguru kemanusiaan saya, Sandyawan Sumardi kira-kira merupakan ungkapan kerendahan-hati masyarakat pedesaan yang tidak berani dumeh meyakini pendapat mereka tidak-bisa-tidak pasti harus benar.
Falsafah kira-kira merupakan bukti bahwa kearifan leluhur masyarakat pedesaan tidak kalah indah untuk dihayati ketimbang kearifan modern masyarakat perkotaan. Falsafah kira-kira mendukung (atau mengkhianati?) upaya epistemologis yang berakar pada Wissenschaftlehre mempelajari apa yang disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Maka kirakiramologi layak dinobatkan sebagai suatu bentuk blackhole keilmuan yang paling tidak percaya diri identik paling tidak takabur sehingga tidak malu mengakui bahwa sebenarnya tidak yakin terhadap dirinya sendiri yang dapat dipastikan mustahil sempurna benar di alam semesta serba fana maka tidak pasti kecuali kepastian bahwa pasti mustahil ada yang sempurna ini.
Demikian kira-kira, yak e, dak tentu!
Penulis sudah babak-belur belajar berpikir namun abadi gagal berhasil memahami makna pemikiran sampai akhir hayat di dunia fana serba tidak pasti kecuali pasti saya mati ini
KOMENTAR ANDA