AKIBAT terhanyut arus arogansi berpikir ilmiah, semula saya tidak percaya fenomena superstisional pada apa yang disebut sebagai kualat.
Menurut saya apa yang disebut sebagai kualat hanya bermanfaat bagi manusia untuk mengutuk sesama manusia yang tidak disukai oleh yang mengutuk.
Kutukan
Maka Malin Kundang kualat akibat dikutuk oleh ibu kandung yang diingkari Malin Kundang setelah menjadi mahakayaraya harta benda.
Mirip kisah Sumantri kualat terbunuh oleh Dasamuka akibat mengingkari Sukrasana. Dursasana kualat akibat menganiaya Drupadi sehingga akhirnya terbunuh oleh Bima di padang Kurusetra.
Paris kualat akibat dikutuk para dewi yang tidak dipilih Paris sebagai perempuan tercantik di alam semesta.
VOC kualat akibat dikutuk oleh bangsa Indonesia yang kemahakayarayaan alamnya dieksploatir oleh kerajaan Belanda selama beratus tahun sehingga kerajaan Belanda merupakan monarki terkaya di planet bumi sampai masa kini.
Umat manusia kualat akibat dikutuk oleh alam semesta yang mengirimkan laskar virus corona demi balas dendam atas angkara murka umat manusia merusak alam, memusnahkan mahluk hidup bahkan membinasakan sesama manusia di planet bumi ini.
Pada hakikatnya kualatisme merupakan suatu bentuk fenomena alam yang kodrati selaras dengan kodrat sebab-akibat mau pun apa yang disebut sebagai karma.
Pedoman
Maka lambat namun pasti arogansi ilmiah saya memudar maka mulai percaya terhadap kualatisme terutama sebagai kendali akhlak diri sendiri. Pada hakikatnya kualitisme melangkapi makna “Ojo Dumeh dan Jihad Al Nafs”.
Maka setiap kali saya akan berbuat sesuatu terhadap sesama manusia maupun alam, saya teringat kepada kualatisme maka berupaya bersikap ojo dumeh sambil gigih menunaikan Jihad Al Nafs sebagai ikhtiar “tidak” melakukan perbuatan yang merugikan sesama manusia dan/atau merusak alam.
Akibat saya memang manusia yang mustahil sempurna, maka segenap upaya saya menghindari kualatisme juga mustahil sempurna berhasil.
Kerap kali saya tetap lalai bersikap ojo dumeh maka gagal menunaikan Jihad Al Nafs sehingga merugikan sesama manusia dan/atau merusak alam. Bahkan tanpa sengaja, niat baik bisa merugikan sesama manusia.
Terbukti keberpihakan saya kepada rakyat miskin merugikan kepentingan para penggusur rakyat miskin.
Juga saya tetap belum berhasil menjadi vegetarian sebab masih gemar makan sate kambing dan rendang sapi.
Namun bukan berarti saya berhak untuk berhenti ikut serta dalam sayembara fastabiqul khoirot alias kompetisi berbuat baik.
Maka dengan segala keterbatasan dan kekurangan, saya tetap gigih berupaya senantiasa eling kepada kualatisme demi melengkapi Ojo Dumeh dan Jihad al Nafs sebagai bekal pedoman menempuh perjalanan hidup nan sarat kemelut deru campur debu berpercik keringat, air mata dan darah di dunia fana ini.
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
KOMENTAR ANDA