SIAP-SIAPLAH dunia kita dipimpin Donald Trump lagi. Setelah konvensi Partai Republik pekan lalu, nama Trump melejit lagi. Perbedaan citra antara Trump dan Joe Biden juga kian nyata. Terutama di mata pendukung Trump. Bahkan mulai muncul istilah baru: mau pilih hidup di Amerikanya Trump atau di Amerikanya Biden.
Kesan umum yang muncul –setelah konvensi itu– Trump adalah lambang kekuatan, ketertiban, dan lebih dekat ke Tuhan.
Biden, calon presiden dari Partai Demokrat itu, dikesankan lemah, suka demo, rusuh, penjarah dan jauh dari Tuhan.
"Amerika mau rusuh terus? Mau terjadi penjarahan terus? Pilihlah Biden," begitu tema baru yang dimunculkan selama konvensi.
Dan tema itu masuk ke sanubari masyarakat Amerika. Yang umumnya kelas mapan. Yakni masyarakat yang benci kerusuhan apalagi penjarahan.
Kesan yang lain: Trump lebih asli Amerika daripada Biden.
Fakta bahwa mereka sama-sama murni kulit putih tidak penting lagi. Ada fakta lain: Cawapres Trump sangatlah 'putih'. Cawapres Biden keturunan Jamaika-India. Bagaimana dengan fakta bahwa saat ini terjadi kemerosotan ekonomi Amerika?
"Itu bukan kesalahan Trump. Itu akibat virusnya Tiongkok," ujar pendukung Trump. "Sebelum Covid-19 Trump sudah terbukti mampu membangun ekonomi Amerika dengan nyata," ujar mereka.
Masa sebelum Covid-19 itu telah berhasil membuat citra Trump sebagai presiden yang mampu membangun ekonomi. Dan citra itu ternyata kuat. Melejitnya harga saham dan rendahnya pengangguran, membuat Trump, di mata mereka, sudah terbukti mampu membangun ekonomi Amerika.
Mereka begitu mengabaikan kenyataan lemahnya penanganan terhadap Covid-19. Mereka beralasan karena virus itu bukan ciptaan Trump. Dan yang lebih banyak meninggal toh orang kulit hitam.
Peristiwa rasialis yang semula menjatuhkan popularitas Trump kini berhasil dibalik. Yakni dari peristiwa rasialis menjadi peristiwa kerusuhan dan penjarahan. Terutama ketika demo anti-rasialis menjadi sangat luas –melanda seluruh Amerika. Yang di dalamnya diwarnai kerusuhan, perusakan, pembakaran, dan menjarahan.
Itu bukan hanya meluas tapi juga berlarut-larut. Di Oregon, misalnya demo anti-rasialis itu sudah berlangsung tiga bulan. Bahkan Sabtu malam lalu sangat rusuh. Ada kulit putih yang tertembak mati.
Tidak penting siapa yang menembak. Jangan-jangan justru didesain agar ada kulit putih yang tertembak –dengan niat awal jangan sampai mati. Yang penting penembakan itu terjadi saat rombongan pendemo kulit putih dihadang pemrotes yang pro BlackLivesMatter.
Sabtu petang itu kelompok fanatik kulit putih kumpul di salah satu mal di pinggiran kota Portland. Lalu bersama-sama konvoi ke pusat kota. Jumlah rombongan itu sekitar 600 mobil.
Sudah tiga minggu konvoi seperti itu dilakukan. Tiap Sabtu petang. Sebagai imbangan atas demo BLM yang tidak kunjung berakhir.
Konvoi itulah yang dihadang. Jalan-jalan dan jembatan masuk Portland dikuasai pendemo BLM. Terjadilah saling ejek. Saling lempar. Kian malam kian seru. Dan terjadilah penembakan itu. Korbannya seorang kulit putih -dengan identitas Patriot Prayer. Itulah nama salah satu kelompok ekstrem kanan –supremasi kulit putih– di Oregon.
Di Wisconsin kerusuhan juga melebar ke kota pinggiran. Antara Milwaukee dan Chicago. Satu orang luka serius, dua orang mati -kulit hitam.
Berlarutnya demo anti-rasialis itu dimanfaatkan oleh Trump. Isu itu berhasil dibalikkan menjadi wajah hitam Biden. Mereka menyuarakan bahwa pendemo, perusuh dan menjarahan itu adalah pengikut Biden.
"Kalau memilih Biden, Amerika akan terus seperti itu," ujar mereka.
Dalam kampanye politik, pemegang kebenaran belum tentu dibenarkan. Pemegang moralitas justru bisa dibuat tidak bermoral.
Misalnya Trump bisa dianggap melanggar UU karena menggunakan Gedung Putih sebagai tempat pidato penerimaan pencalonannya oleh Partai Republik. Setidaknya itu melanggar etika. Paling kurang itu menandakan kurang dijunjung tingginya moral bernegara. Tapi isu moral seperti itu ternyata tidak menggigit emosi masyarakat umum. Itu hanya dipersoalkan kalangan elite saja.
Padahal isi pidato Trump yang sampai 1,5 jam itu tidak ada bedanya dengan kampanye. Berarti Trump menggunakan Gedung Putih untuk kampanye. Berarti Trump secara tidak bermoral telah menyalahgunakan fasilitas negara.
Belum lagi di penutupan konvensi itu, Trump mengundang sampai 1.500 orang. Dengan mengabaikan protokol kesehatan. Kursinya ditata berhimpitan. Tidak wajib pula memakai masker.
Tapi semua itu hanya negatif di kalangan terbatas. Trump bisa menutupi kenegatifan itu dengan persepsi-persepsi negatif untuk Biden.
Maka fakta tidak lagi penting. Yang terpenting adalah persepsi. Dan selama empat hari konvensi Partai Republik itu Biden terus-menerus dipersepsikan dekat dengan demo, kerusuhan, penjarahan dan yang serba ketidaktertibkan.
KOMENTAR ANDA