Masalah kesehatan mental jadi polemik tersendiri di tengah pandemik Covid-19/Net
Masalah kesehatan mental jadi polemik tersendiri di tengah pandemik Covid-19/Net
KOMENTAR

ISU kesehatan mental merupakan ranah yang kurang mendapat sorotan dari pemerintah India sejak masa sebelum pandemik virus corona atau Covid-19 terjadi.

Setelah pandemik Covid-19 terjadi tahun ini, isu tersebut pun seakan menjadi "bumerang" tersendiri bagi pemerintah India.

Diketahui bahwa India mengambil langkah ekstrem, yakni memberlakukan lockdown atau penguncian besar-besaran sejak Maret lalu untuk mengerem penularan Covid-19.

Lockdown tersebut mulai dilonggarkan secara bertahap sejak Juni lalu. Namun ternyata, lockdown memiliki efek tersendiri bagi kesehatan mental banyak warga di India.

Sejak lockdown dilonggarkan, banyak warga yang mengeluhkan bahwa mereka memiliki kondisi psikis tersendiri, seperti menghadapi serangan panik, atau bahkan yang terburuk, mereka memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri atau terpikir untuk melakukan bunuh diri.

Hal itu dapat dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Suicide Prevention in India Foundation (SPIF) pada bulan Mei lalu. Mereka menemukan bahwa hampir 65 persen dari 159 ahli kesehatan mental yang disurvei melaporkan peningkatan tindakan menyakiti diri sendiri di antara pasien mereka.

Survei lain yang dilakukan pada bulan April oleh Indian Psychiatric Society, menunjukkan bahwa dari 1.685 partisipan, sekitar 40 persen di antaranya menderita gangguan kesehatan mental yang umum, seperti kecemasan dan depresi akibat pandemik.

Meski lockdown telah dilonggarkan bertahap, namun situasi kesehatan mental di sejumlah warga India tidak serta-merta membaik.

Pendiri SPIF Nelson Moses menjelaskan kepada CNN pada Agustus lalu bahwa meski lockdown telah dilonggarkan, namun kondisi kecemasan masih bertahan pada banyak warga India. Hal itu lantaran situasi ketidakpastia yang meningkat soal kapan pandemik akan berakhir.

Lebih lanjut dia khawatir bahwa pandemik Covid-19 memperburuk tingkat bunuh diri di India, yang bahkan sudah tinggi sebelum pandemik terjadi.

"Sistem (kesehatan mental) sudah berderit dan terbebani, sekarang dengan Covid, kami mengalami bencana peningkatan permintaan, pasokan yang menyedihkan, dan pekerja garis depan yang kelelahan," kata Moses.

Jika menengok ke belakang, pemerintah India tidak memberikan banyak perhatian pada isu kesehatan mental. Di negeri Bollywood, isu kesehatan mental masih menjadi hal yang kudang dipahami dengan baik di masyarakat, sehingga stigma negatif muncul ketika membahas soal kesehatan mental.

Hal itu terlihat dalam sebuah survei tahun 2016 lalu. Survei Kesehatan Mental Nasional yang dilakukan di 12 negara bagian di India, mendokumentasikan daftar lebih dari 50 istilah merendahkan yang digunakan untuk orang yang menderita penyakit mental.

"Biasanya masyarakat menganggap individu dengan penyakit kejiwaan tidak kompeten, tidak rasional dan tidak dapat dipercaya akibatnya peluang pernikahan mereka rendah," ujar salah satu partisipan dalam survei itu, seperti dikutip CNN.

Para ahli pun cemas dengan situasi tersebut.

"Orang-orang berpikir bahwa membicarakan perasaan Anda membuat Anda lemah, ada banyak kesalahpahaman," kata seorang konselor relawan di MINDS Foundation, sebuah organisasi nirlaba India yang bertujuan untuk mengurangi stigma seputar kesehatan mental, bernama Baldev Singh.

Di sisi lain, banyak ahli menilai bahwa keengganan historis untuk menangani kesehatan mental di India bisa jadi sebagian karena kurangnya terminologi. Pasalnya, tidak satu pun dari 22 bahasa India memiliki kata-kata yang berarti "kesehatan mental" atau "depresi".

Kepala departemen di National Institute of Mental Health and Neurosciences (NIMHANS) di Bangalore, Dr S.K. Chaturvedi mengatakan bahwa meskipun ada istilah untuk kesedihan (udaasi), duka (shok) atau kehancuran (bejasi) dalam bahasa Urdu dan bahasa India lainnya, namun terminologi khusus untuk mengatasi berbagai penyakit mental masih kurang.

Dia menilai bahwa hal itu bisa terjadi lantaran praktik psikiatri sebagian besar bersifat Barat.

"Lebih mudah bagi orang untuk berbicara tentang gejala fisik dan penyakit daripada mengungkapkan kepada keluarga mereka bahwa mereka merasa sedih atau depresi," katanya.

Terlebih, sambungnya, bagi banyak keluarga kelas menengah di India, membicarakan soal perasaan "negatif" merupakan hal yang tabu atau jarang dilakukan.

Dengan demikian, stigma seputar kesehatan mental akan mungkin membuat beberapa orang tidak menyadari bahwa mereka membutuhkan bantuan. Selain itu, bagi mereka yang memang ingin berobat, fasilitasnya pun terbatas.

Menurut Survei Kesehatan Mental Nasional 2016, 83 persen orang yang menderita masalah kesehatan mental di India tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan mental yang memadai.

Data pada tahun yang sama yang dirilis oleh Organisasi kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa India memiliki tiga psikiater untuk setiap satu juta orang dan bahkan lebih sedikit psikolog. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memiliki 100 psikiater dan hampir 300 psikolog untuk setiap satu juta orang.




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health