KURSI adalah sebuah perabotan yang berguna bagi manusia untuk duduk. Namun ada sebuah jenis kursi yang berbahaya bagi manusia yaitu yang disebut sebagai singgasana.
Bahaya
Singgasana berbahaya akibat kerap dihinggapi berbagai jenis virus ganas merusak akhlak manusia yang duduk di atas singgasana. Sifat virus yang berbahaya merusak akhlak manusia mirip virus Corona, yaitu tidak pandang bulu. Para penguasa yang dipilih secara demokratis atau monarkis mau pun secara curang atau pun hasil kudeta semuanya tidak ada yang kebal virus yang merusak akhlak manusia yang duduk di atas singgasana kekuasaan.
Virus PA (Perusak Akhlak) ganas merusak nurani manusia sehingga menimbulkan dampak gejala yang disebut sebagai lupa daratan. Bentuk ringan lupa daratan yang paling lazim adalah lupa pada janji manis yang diobral para masa kampanye pemilu agar yang dipilih mayoritas rakyat untuk bisa duduk di takhta singgasana kekuasaan.
Meski termasuk ringan, namun sebenarnya dampaknya berat bagi rakyat yang dikecoh dengan janji-janji yang diingkari mereka yang sudah berhasil duduk di kursi kekuasaan. Tahap selanjutnya setelah lupa daratan adalah egosentrisme. Akibat terbius nikmatnya kenikmatan duduk di singgasana, maka yang diutamakan penguasa bukan kepentingan negara, bangsa apalagi rakyat, namun kepentingan diri sendiri.
Megalomaniak
Apabila sang terpapar terlalu menikmati nikmatnya egosentrisme, maka virus PA rawan menimbulkan gejala lebih parah, maka lebih berbahaya, yaitu megalomaniak alias angkara murka kerakusan atas kekuasaan yang lepas kendali, maka tak kenal batas kepuasan. Sebenarnya cukup banyak contoh para terpapar virus PA.
Demi tidak melukai perasaan yang masih hidup, sebaiknya kita pilih contoh yang sudah mati saja, yaitu Adolf Hitler dan Joseph Stalin. Pada awal masa kepemimpinan kedua tokoh yang tercatat di lembaran sejarah peradaban manusia semula terkesan demokratis, lalu egosentrik, kemudian akibat terlalu menikmati nikmatnya duduk di atas singgasana kekuasaan, maka menjadi megalomaniak. Demi melampiaskan angkara murka ambisi kekuasaan pribadi, terbukti mereka berdua tak segan mengorbankan jutaan nyawa manusia.
Animal Farm
Secara tajam, di dalam distopia “Animal Farm” mahakarya George Orwell melukiskan betapa egosentrisme para babi di peternakan lambat namun pasti berkembang menjadi megalomaniak. Sehingga setelah berhasil memimpin pemberontakan terhadap para manusia, para babi akibat terlalu lama menikmati nikmatnya bertakhta di singgasana kekuasaan lambat-laun berubah sikap, perilaku mau pun sosok ragawi menjadi persis manusia.
Suatu satire menyindir angkara murka kekuasaan yang seyogianya layak dihayati para penguasa agar tidak kebablasan membabibutatuli menyalahgunakan kekuasaan.
Power
Berdasar telaah komprehensif tentang apa yang disebut sebagai kekuasaan yang tertuang di dalam buku legendaris berjudul “Power”, sang mahapemikir penerima anugrah Nobel, Sir Bertrand Russel kritis bersabda “The love of power is a part of human nature, but power-philosophies are in a certain precise sense, insane. The existence of the external world can only be denied by a madman. Certified lunatics are shut up because of the proneness to violence when their pretensions are questioned; the uncertified variety are given control of poweful armies, and inflict death and disaster upon all sane men within their reach”.
Pada hakikatnya, Bertrand Russel berupaya menyadarkan umat manusia bahwa kekuasaan berbahaya tergelincir menjadi suatu marahabaya dengan daya rusak dan daya binasa mahadahsyat apabila tidak dikendalikan oleh etika, moral dan akhlak yang bijak terkandung di dalam falsafah Ojo Dumeh, Ngono Yo Ngono Ning Ojo Ngono, ajaran Jihad Al Nafs Islam, kasih-sayang Nasrani, welas-asih Buddhisme, Tri Pramana Hinduisme, Jien dan Gie Konghucu.
Penulis adalah Pendiri Sanggar Pembelajaran Kekuasaan
KOMENTAR ANDA