SAAT bendera atau panji Islam berkibar-kibar dalam genggamannya, Mush’ab bin Umair merasakan gemuruh yang lebih bergelora di dadanya. Di seberang sana, Abu Aziz bin Umair memegang kibaran panji kaum musyrikin di tangannya. Perang Badar tidaklah mudah bagi kaum muslimin, selain jumlahnya paling sedikit, persenjatannya juga ala kadar. Sementara pihak musuh jumlah pasukannya lebih tiga kali lipat.
Perang Badar sungguh tidak mudah. Dan bagi Mush’ab bin Umar terasa lebih tidak mudah, mengingat pemegang panji musyrikin itu adalah Abdul Aziz, saudara kandungnya. Di medan perang Badar dua saudara yang sedarah tersebut posisinya berseberangan, Mush’ab di barisan Islam, dan saudaranya di barisan musyrikin.
Inilah permusuhan yang menyesakkan dada. Akankah Mush’ab akan terbunuh di tangan saudara kandungnya hanya karena perbedaan keyakinan?
Mush’ab bin Umair tidak punya pilihan mundur, demi Islam yang dicintainya, pemuda tampan itu rela hidup melarat. Dia pun harus menanggung siksaan perih dari ibu kandungnya, bahkan dirinya pernah dipenjara.
Dalam nalar paling gila pun, tidak terbayangkan oleh dirinya akan menghunus senjata dalam posisi berseberangan dengan saudara kandung. Segalanya telah ditentukan oleh Tuhan, termasuk hari yang paling menyesakkan dada bagi Mush’ab bin Umair. Allahuakbar!
Perang Badar berkecamuk dahsyat, dalam berbagai hadis diterangkan Allah mengirim laskar malaikat membantu kaum muslimin. Dan kemenangan gemilang itu dapat diraih kaum muslimin dan eksistensi agama Islam pun terjaga. Bagaimana nasib Mus’ab bin Umair? Alhamdulillah, pemuda tampan itu berperang gagah berani dan selamat dari senjata musuh.
Saat Mush’ab bin Umair berkeliling mengawasi para tawanan perang, terlihat Abu Aziz yang berhasil ditangkap oleh seorang mujahid Islam.
Apa yang dikatakan oleh Mush’ab bin Umair? Apakah dirinya meminta kebebasan bagi saudara kandungnya? Apakah dia marah saudaranya ditawan?
Abul Hasan al-Ali Hasani an-Nadwi dalam bukunya Sirah Nabawiyah menerangkan, ketika Mush'ab lewat di dekatnya, ia berkata kepada salah seorang dari kaum Anshar yang sedang mengikat tangan Abu Aziz, “Ikat kuat-kuat, jangan sampai lengah. Sebab, ibunya banyak memiliki perhiasan dan bisa saja menebusnya darimu.”
Abu Aziz berkata, “Wahai saudaraku, apakah itu pesanmu kepadanya?”
Mush'ab berkata, “Ia merupakan saudaralu selain dirimu.”
Kemudian Abu Aziz bebas, setelah ditebus ibunya senilai empat ribu dirham.
Dari episode haru-biru yang dialami Mush’ab bin Umair, dapatlah kita petik beberapa hikmah, di antaranya:
Pertama, hablum minallah atau hubungan dengan Allah lebih diutamakan di atas hubungan apapun, tidak terkecuali hubungan darah. Hubungan agama di atas dari hubungan saudara. Mush’ab bin Umair tidak menyeberang kepada barisan musyrikin melainkan istiqamah dalam barisan Islam karena kebenaran yang diyakini.
Perang Badar itu, sebagaimana yang tertera dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur`an, karya Sayyid Quthb, disebut Yaumul al-Furqaan, Yaumul Iltiqan ul-Jam'aan, (yaitu) hari pembeda antara yang hak dan yang batil, hari bertemunya dua pasukan.
Kebenaran haruslah ditegakkan, dengan demikian tatkala saudara kandung berada dalam jalur yang salah, yang batil, yang dimurkai agama, maka kita hendaklah meluruskannya, dan bukannya mengikuti kesesatan itu.
Kedua, bersikap profesional dalam menjaga hubungan bersaudara. Artinya, jangan sampai merugikan hak-hak orang lain, apalagi hak masyarakat luas dikorbankan hanya demi memuaskan hawa nafsu saudara kandung.
Tindakan tidak profesional itu misalnya memberikan hak-hak istimewa kepada saudara dengan merampas hak orang lain. Contohnya begitu kakak dapat jabatan direktur, mendadak adik-adiknya juga memperoleh jabatan strategis. Itu namanya nepotisme.
Mush’ab bin Umair tidak meminta Rasulullah membebaskan saudaranya, karena dia tahu toh Islam melindungi tawanan dan diberi hak untuk menebus dirinya. Dia pun menyadari Abu Aziz berkesempatan meraih kebebasannya, dan sang ibu tergolong kaya yang tidak akan kesulitan membayar uang tebusan.
Islam mengajarkan kerukunan antarsaudara kandung, tetapi sikap itu memerlukan pondasi yang kokoh, berupa kebenaran agama. Tanpa pondasi kebenaran, yang terjadi hanyalah kerukunan semu; mulut tertawa hati membara, bagaikan api di dalam sekam.
Bukan berarti atas nama hubungan saudara kita dapat meminta bahkan menuntut apa saja. Saudara kita juga mempunyai kehidupan sendiri, bahkan memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Alangkah menyedihkan jika ada yang menderita, mengorbankan diri dan keluarganya demi kesenangan saudara-saudaranya.
Betapa menyedihkan tatkala seorang istri akhirnya bertengkar hebat dengan suami, hingga pernikahan mereka di ujung jurang kehancuran. Pasalnya, saudara-saudari suami silih berganti datang menyambangi, bukannya sekadar silaturahmi, justru mereka adalah orang-orang yang sukanya diberi. Kalau tidak diberi, mereka malah menuntut.
Dengan sesama saudara memang sering terjadi suasana yang serba tidak enak. Apabila permintaannya ditolak, takutnya tersinggung, jika dikabulkan malah permintaannya tiada pernah habis. Ketegasan itulah yang dibutuhkan, diam justru hanya memperburuk keadaan.
Tidak percuma Al-Qur’an menceritakan berbagai kisah pilu perihal hubungan saudara yang berujung tragedi. Kita telah khatam dengan kisah Habil dan Qabil. Dan betapa ngilu hati kita tatakala mengetahui endingnya justru Qabil tega membunuh Habil. Pembunuhan sesama saudara yang diabadikan di dalam kitab suci. Kenapa sesama saudara kandung bisa menghabisi?
Kecintaan yang terlalu pada kesenangan dunia telah membuat manusia gelap mata. siapapun yang serakah tidak akan pernah puas meski pun seluruh dunia diberikan padanya. Dan, di antara kisah-kisah tragis dalam hubungan persaudaraan itu juga ada bisikan-bisikan setan. Sesama saudara pun di adu domba, disulut rasa iri, lalu dibakar api kebencian.
Bukan hanya saudara kandung, dengan siapapun manusia dapat rukun, asalkan mereka memiliki pondasi yang kuat, yaitu kebenaran. Apabila ada yang melenceng di luar jalur kebenaran, jika tidak segera diluruskan, maka akan terjadi berbagai kisah pilu berikutnya.
KOMENTAR ANDA