Episode #1
Dari Sahal bin Sa'ad, dia berkata, Rasulullah mendatangi kediaman Fathimah. Beliau tidak mendapati Ali di dalam rumah, lalu menanyakannya. Fathimah menjawab, "Antara aku dan dia terjadi sesuatu. Dia marah padaku, lalu keluar, tidak qailulah (tidur siang-red) di dekatku."
Rasulullah berkata pada seseorang, “Tolong cari di mana dia?”
Orang itu datang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, dia ada di dalam masjid.”
Rasulullah menghampiri Ali yang sedang tidur. Serbannya terjatuh dari bahunya, dan tubuhnya terkena tanah. Rasulullah langsung mengusapnya sambil berkata, “Bangun, wahai Abu Turab; bangun wahai Abu Turab.” (HR. Bukhari)
Turab artinya tanah, dalam bahasa Arab. Sejak itu Abi Thalib senang-senang saja dipanggil Abu Turab, meskipun julukan itu hanya akan mengingatkan dirinya tentang kejadian letupan istrinya. Ketika hendak istirahat siang, Fathimah meletup emosinya. Ali pun marah dan memilih mengalah, dia menghindar ke masjid.
Tetapi itu kan hanya letupan, yang tidak merusak kebahagiaan. Jadi, jangan membesar-besarkan persoalan. Demikianlah Ali bin Abi Thalib menjaga rumah tangganya dengan putri Rasulullah tetap akur. Apa maksudnya tetap akur? Bukankah Ali pergi?
Rumah tangga menantu Rasulullah itu bukan sedang hancur, karena yang terjadi hanyalah letupan normal. Pergesekan antar manusia itu biasa saja, dan rumah tangga sakinah itu bukannya yang tanpa masalah.
Agar dapat memahami rahasia di balik letupan ini, baiknya disimak kisah berikut.
Episode #2
Begitu membuka pintu rumah, tiba-tiba batu bata melayang dan menimpa jidat lelaki ubanan itu. Bugh! Dan yang paling mengagetkan, pelempar jitu itu tidak lain tidak bukan adalah istrinya nan setia.
Puluhan tahun menikah, mana pernah dirinya mengatakan tidak. Dalam kamus hidup istrinya hanyalah ketaatan dan keikhlasan melayani suami. Itu saja. Kepatuhan itu bermula sejak hari pernikahan, tatkala istrinya yang ketika itu masih ramping bersimpuh untuk melakukan sungkem.
Pria itu tak bisa berlama-lama bernostalgia, berikutnya periuk, kuali dan peralatan dapur pun terbang bagaikan komet. Para tetangga bertindak sigap, anak-anaknya diungsikan, dan ustad didatangkan. Kok ustad? Memangnya ada pengajian?
Ternyata tidak.
Tetangga sangat yakin pastilah makhluk halus sebangsa jin, setan, dan sejenisnya telah merasuki. Bukankah perempuan yang kini bagai monster itu terkenal baik hati dan pendiam. Setelah diruqyah berkali-kali tetap saja perempuan itu mengamuk. Dan kondisinya mulai tenang setelah menginap di rumah sakit jiwa dua minggu lamanya.
Apa yang terjadi? Rupanya ia terguncang hebat. Hampir dua puluh tahun senantiasa taat, akhirnya pertahanan dirinya jebol. Rumah tangganya memang tidak ada letupan, tetapi yang terjadi energi letupan itu terus berhimpun bertahun-tahun, dan akhirnya menjadi ledakan dahsyat. Blarr!!
Bagaimana sekarang? Alhamdulillah, kondisinya membaik. Suaminya telah memperbaiki diri, tidak lagi menuntut ketaatan buta. Dia pun dapat menerima beberapa letupan dari istrinya sebagai sesuatu yang normal. Masih mendingan letupan toh, daripada ledakan!
Di sini kita dapat memahami letupan Fathimah sebagai kenormalan dalam rumah tangga. Kondisi letupan itu jauh lebih baik daripada ledakan dahsyat yang dapat meluluh-lantakkan rumah tangga. Maka Ali bin Abi Thalib yang berinisiatif untuk menyingkar sebagai bagian dari sikap bijaksana. Ibarat bisul, ia memang butuh letupan untuk kembali sehat.
Seiring dengan berlarut-larutnya pandemi Covid-19, maka kian bertambah rumah tangga mengalami letupan. Maklum saja, bukan lagi virus yang ditakutkan, kini orang-orang mengalami tekanan batin akibat goncangan ekonomi. Dalam masa-masa sulit, tekanan psikologis itu meningkat drastis dan kasus lepas kontrol pun acap kali terjadi.
Berikut ini beberapa komitmen yang akan menjaga keluarga tetap akur, di masa-masa sulit sekalipun:
Pertama, harus ada yang mengalah. Hidup ini penuh tekanan, dan terkadang dapat saja pasangan lepas kendali, biasalah namanya juga manusia. Nah, saat istri lagi naik, maka suami yang mengalah, begitu pula sebaliknya. Tetapi, kalau dua-duanya tidak mau mengalah, dan sama-sama naik emosi, di sanalah ledakan besar akan terjadi.
Lucunya, kita begitu ikhlas mengalah sama orang lain, tetapi ego kita langsung naik begitu berhadapan dengan istri atau suami. Ali bin Abi Thalib itu ksatria gagah perkasa, di medan tempur dia duluan yang berduel dengan jagoan musuh dan tidak pernah kalah. Namun, dalam rumah tangga justru dirinya yang mengalah. Kita mengalah itu untuk sama-sama menang. Sadarilah, pasangan hanya mengalami letupan kecil, yang mana suatu saat kita pun dapat meletup pula.
Kedua, jangan pernah meminta untuk dimengerti. Karena tidak ada manusia yang dapat mengerti dengan isi hati orang lain. Bahkan, kita pun sering tidak paham dengan hati sendiri. Jangan banyak berharap kepada manusia, nanti bisa kecewa karena manusia itu makhluk yang lemah. Hanya Allah yang benar-benar mengerti segala yang terbetik di hati.
Ketiga, jadikan keluarga sebagai kekuatan, bukannya pelampiasan. Seringkali persoalan berikut dengan tekanannya berasal dari pihak luar, tetapi pelampiasannya malah kepada keluarga. Ini jelas keliru. Justru keluarga merupakan sumber kekuatan kita, bahkan hanya dengan melihat anak-anak dan suami atau istri maka pikiran yang ruwet pun menjadi tenang. Dan ini dapat terjadi apabila kita memahami keluarga adalah energi kehidupan.
Keempat, kekayaan yang paling utama adalah cinta. Pandangilah istri atau suami dan anak-anakmu! Merekalah kekayaan sejati, yang mencurahkan cinta tanpa pamrih, yang memberi tanpa harap kembali. Manusia yang waras tidak akan merusak apalagi memusnahkan kekayaan terpentingnya. Tinggalkanlah segala yang membuat kepala pusing, buanglah hal-hal yang membebani batin. Beralihlah kepada anak-anak, suami atau istri untuk mensyukuri anugerah cinta. Tiada yang sehebat keluarga kita.
Kelima, bangkitkan optimisme. Bukan hanya keluarga kita, melainkan kini 7 milyar manusia mengalami pahitnya masa sulit ini. Maka keluarkanlah kata-kata penuh semangat, tumbuhkanlah harapan di tengah rumah tangga. Bukankah sebelumnya bersama keluarga kita telah berhasil melalui banyak badai. Jadi, tidak perlu cemas dengan badai kali ini. Selagi ada optimisme, insyallah jalan keluarnya akan terus terbentang. Aamiin!
KOMENTAR ANDA