AMERIKA Serikat bagi banyak perempuan di berbagai penjuru dunia terlihat seperti ‘surga’. Di negara adidaya itu, perempuan Amerika seolah menjadi simbol perempuan maju dan berdaya. Menjalani kehidupan khas masyarakat urban yang modern, dinamis, bergaya ultra modis, dan berkarir cemerlang.
Namun ketika kasus Breonna Taylor dan George Flyod mencuat hingga menggemakan Black Lives Matter, kita melihat betapa diskriminasi gender dan rasisme ternyata kental mewarnai kehidupan perempuan di Amerika.
Tidak melulu tentang ras dan warna kulit, gender juga menjadi isu kontroversial di panggung politik Negeri Paman Sam. Maka ketika Kamala Harris masuk ke pusaran pilpres, amat sulit untuk tidak membicarakan topik gender maupun ras.
Kamala Harris lahir dari orangtua berdarah India dan Jamaica. Ia seorang multiras. Dan ya, Kamala adalah perempuan. Sosok Kamala Harris secara komplet mewakili semua hal tabu yang selama ini menjegal langkah seseorang menuju kursi presiden atau wakil presiden.
Di Amerika, mendefinisikan identitas ras dari keturunan multiras merupakan hal menakutkan. Rakyat Amerika masih sulit memahami mixed-race people. Hal itulah yang dialami Kamala.
Masyarakat kulit hitam mempertanyakan apakah Kamala benar-benar “hitam”. Sementara sebagian masyarakat Asia Selatan bersorak dengan majunya Kamala. Sejujurnya, menguras energi untuk mengidentifikasi identitas ras seseorang sungguh percuma. Tapi itulah yang (masih) terjadi di Amerika.
Selain urusan ras, setidaknya ada 3 (tiga) hal lain yang biasanya menjegal langkah seorang perempuan untuk duduk di kursi presiden atau kursi wakil presiden, seperti dianalisis Direktur Center for American Women and Politics dari Rutgers University Debbie Walsh untuk BBC.
Pertama, penampilan agresif di muka publik. Perempuan yang masuk ke politik dituntut untuk mampu bersikap asertif dan agresif tanpa terlihat garang. Ketika laki-laki bersuara lantang bahkan berteriak, maka ia disebut percaya diri. Tapi jika perempuan melakukan hal itu maka martabatnya menjadi rendah.
Bagi perempuan minoritas, bias gender memang tidak bisa dipisahkan dari urusan ras. Di Amerika, ada stereotype yang melekat pada diri perempuan kulit hitam sejak abad ke-19 yaitu “angry black women”.
“Di satu sisi, perempuan dituduh tidak kuat untuk memikul jabatan sebagai presiden atau wakil presiden. Namun di sisi lain, sekalinya mereka ‘berteriak’, berontak, dan menolak ketidakadilan, mereka dianggap pemarah,” ujar Debbie.
Debbie melihat Kamala melakukan hal hebat selama debat wakil presiden. Meskipun beberapa kali ia terlihat menahan diri (untuk tidak menjadi agresif), responsnya terhadap interupsi Mike Pence terbilang brilian dan elegan.
Kalimat “Mr. Vice President, I’m speaking” yang sangat viral itu, menurut Debbie, seharusnya diucapkan oleh lebih banyak perempuan yang kerap diacuhkan atau dilucuti kebebasan berbicaranya.
Kedua, kemampuan memimpin. Banyak analis politik berpendapat bahwa perempuan seharusnya mendemonstrasikan dengan lebih jelas kemampuan mereka. Selama kampanye, perempuan harus mampu memperlihatkan nilai lebih mereka dengan cara berbeda dari yang dilakukan para laki-laki.
Meski Kamala terlihat hebat dalam debat, ternyata hasilnya berbeda saat masyarakat ditanya “is she fit to lead?”
Hasil survei YouGov menyatakan sebanyak 56% responden memilih Mike Pence menjadi presiden seandainya Trump tak bisa melanjutkan kepemimpinannya. Sekali pun alasan para responden memilih Mike karena ia adalah wakil presiden yang sudah jelas pengalamannya, para aktivis yang memperjuangkan hak politik perempuan tetap berargumen bahwa diskriminasi gender adalah penyebabnya. Perempuan dituntut membuktikan diri lebih keras berkali lipat dibandingkan laki-laki.
Ketiga, posisi sebagai ibu. Inilah yang dialami Sarah Palin tahun 2008 silam. Sebagai ibu dari lima anak, salah satunya saat itu adalah bayi dengan down-syndrome, Sarah dihujat dan dikritik karena dianggap lebih mementingkan ambisi pribadi mengejar jabatan hingga menelantarkan keluarga.
Respons yang jauh berbeda didapatkan para kandidat laki-laki. Ketika mereka membawa keluarga ke hadapan publik, mereka langsung mendapat julukan “family man”.
Kamala, kali ini sedikit berbeda. Ketika Kamala menerima pinangan Demokrat sebagai calon wakil presiden, istri Doug Emhoff ini mengatakan bahwa jabatan wakil presiden memang hebat, tapi menjadi seorang ibu bermakna segalanya.
Saat memperkenalkan diri di hadapan publik Amerika, Kamala kerap membicarakan kehidupan keluarga. “Profil Kamala yang dibesarkan oleh single mom dan kini menjalani peran sebagai ibu dari dua anak sambung yang beranjak remaja menjadi poin kunci Kamala mempresentasikan dirinya,” kata Debbie.
Meskipun perempuan dalam politik tidak bisa dipisahkan dari perannya sebagai ibu, sosok Kamala terbilang unik dengan latar belakang berbeda dari stereotype perempuan kebanyakan—yang datang dari keluarga harmonis yang utuh.
Menurut data, sejak tahun 2018 semakin banyak perempuan tertarik terjun ke dunia politik untuk memegang jabatan di pemerintahan. Mereka tidak memikirkan tentang bagaimana mereka seharusnya tampil di hadapan publik (citra) tapi lebih menampilkan jati diri mereka sebenarnya. Banyak perempuan yang membuka diri mereka apa adanya di hadapan publik.
Tampil apa adanya adalah bagian dari perjuangan Kamala Harris menuju kursi wakil presiden.
Kita akhirnya melihat bahwa keyakinan diri dan kompetensi membuat Kamala tidak merasa perlu menutupi latar belakang multiracial dan blended family yang ia miliki. Apa yang dilakukannya—terlepas dari hasilnya nanti—dipastikan bakal mengubah masa depan perempuan di panggung politik Amerika.
KOMENTAR ANDA