SAYA kurang berani menghakimi orang lain sebagai munafik akibat apabila saya mawas diri, maka terbukti bahwa saya sendiri sebenarnya cukup munafik. Terutama dalam hal percaya tahayul.
Tahayul
Sebagai seorang yang merasa diri “modern” akibat memang dididik secara kebudayaan Barat yang memberhalakan rasio, maka saya malu mengakui diri percaya tahayul.
Namun secara tak sadar atau sadar saya munafik dalam sikap dan perilaku saya sehari-hari yang ternyata sebisa mungkin menghindari angka tigabelas. Meski secara sombong saya mengaku tidak percaya bahwa angka tigabelas adalah angka sial namun pada kenyataan saya menghindari tanggal tigabelas untuk melakukan kegiatan yang tidak rutin seperti misalnya melakukan perjalanan apalagi perjalanan lewat udara dengan pesawat terbang apalagi setelah terbukti Apollo 13 gagal mendarat di permukaan rembulan.
Sedapat mungkin saya menghindari jangan sampai saya membeli sesuatu dengan harga Rp 13.000 apalagi Rp 131.313 meski saya tidak percaya 13 adalah angka sial.
Diam-diam saya bersyukur bahwa saya adalah anak ke-7 bukan ke-13.
Ketika mobil saya diberi nomor akhir 13, maka saya mohon kepolisian lalulintas mengganti nomor mobil saya agar jangan bernomor akhir 13 meski saya harus membayar lebih mahal yaitu Rp 1.300.000 !
Setan
Sebagai seorang yang rasional saya juga tegas mengaku bahwa saya tidak percaya setan sama halnya saya tidak percaya tahayul seperti ramalan baca telapak tangan apalagi telapak kaki. Saya tidak percaya ramalan Jayabaya apalagi Jayasuprana.
Saya tidak percaya mahluk halus, maka saya tidak percaya ketika seorang guru di Jaya Suprana School of Performing Arts, Muhammad Iqbal mengeluh bahwa setiap kali dia latihan piano di balairung sekolah setelah tengah malam selalu diganggu oleh suara-suara gaib berseliweran mengitari Iqbal ketika sendirian latihan piano.
Karena saya menuduh Iqbal bohong maka Iqbal mengajak saya menemani dia ketika latihan piano setelah tengah malam di balairung JSSPArts.
Saya menolak dengan alasan ngantuk padahal saya takut setengah hidup jika pada saat menemani Iqbal ternyata para setan datang gentayangan mengitari saya.
Juga setelah saya mengaku tidak percaya setan lalu Gus Dur menantang saya untuk tidur semalam suntuk seorang diri di kuburan, saya menolak dengan alasan saya gampang masuk angin jika tidur di alam terbuka padahal sebenarnya ngeri dikerubuti setan-setan kuburan gentayangan.
Santet
Saya juga mengaku tidak percaya santet ketika seminar tentang santet bersama Cak Nur dan Ki Gendheng Pamungkas di aula pertemuan Masjid Baiturrahman di Simpang Lima kota Semarang sekitar awal tahun 90an abad XX.
Bahkan ketika Ki Gendheng Pamungkas sesumbar bahwa dia sakti mandraguna dalam menyuruh setan untuk menyantet manusia, langsung saya tantang dia untuk menyantet saya.
Namun disertai embel-embel syarat asal jangan terlalu lama sebab sebenarnya saya takut disantet.
Syukur Alhamdullilah, ternyata Ki Gendheng Pamungkas tampaknya tidak kalah munafik dari saya sehingga merasa ragu menyantet saya dengan dalih “Maaf, saya tidak bisa menyantet pak Jaya sebab pasti para setan tidak mampu mematuhi perintah saya akibat tertawa geli melihat pak Jaya!”.
KOMENTAR ANDA