PATAH hati. Kecewa. Perih. Penderitaan. Semua adalah mala, adalah petaka batin yang bila ditelusuri akarnya bisa jadi karena relasi antarmanusia yang tidak amanah.
Ada hubungan yang rumpang dan koyak di antara dua orang atau lebih. Ada ketidakmampuan memikul amanah yang sejak mula sudah disepakati berdua atau lebih. Ada pengingkaran. Ada pengkhianatan.
Baiklah, mari kita tengok dialog Tuhan dengan eks para kandidat pemikul amanah ini.
"Langit, apakah kau sanggup memikul amanah? Kelak, kau akan mendapatkan fadhilah (keutamaan), karamah (kemuliaan) dan balasan di surga nanti bila melaksanakannya."
"Kami tidak sanggup memikul tugas ini, Tuhan. Kami tidak punya daya. Meski begitu, kami akan tetap taat kepada-Mu."
Lalu Tuhan menawarkan kepada bumi. "Bagaimana dengan engkau hai bumi, apakah kau akan menerima tawaranku ini dan kelak akan dibalas dengan fadhilah, karamah, dan pahala di surga?"
"Kami tidak kuat, Tuhan. Kami tidak sabar. Kami tidak bisa menanggung perkara ini. Tapi, kami bakal tetap mendengar dan mentaati-Mu. Kami tidak bakal berpaling dari segenap perintah-Mu."
Lalu, gunung. Lalu, jin. Semua sama menolak tugas besar dan mulia dari Allah tersebut. Tiba-tiba, Tuhan mendekati Adam dan menawarkan hal serupa.
"Bagaimana denganmu, Adam, sanggupkah memikul misi suci ini dan menjaganya dengan baik?
"Apa balasan untukku, ya Rabb?"
"Kalau kau berbuat baik, taat, dan menjaga amanah ini, maka kau akan mendapatkan fadhilah, karamah, dan pahala di surga. Sebaliknya, bila kau durhaka, tidak menjaga amanah, maka kau akan masuk ke dalam neraka."
"Aku ridha Tuhanku, aku siap memikul amanah ini."
Demikianlah, satu riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang pernah disinggung Ibn Katsir dalam tafsir QS. Al-Ahzab, ayat 72. Bunyi lengkapnya: "Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah (tugas keagamaan) kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, lalu mereka enggan memikulnya dan mereka khawatir (akan mengkhianati amanah itu), dan dipikullah oleh manusia. Sesungguhnya dia (manusia) sangat zalim (karena tidak menunaikan amanah) dan sangat merugi (karena mengkhianati amanah)."
Betapa istimewanya manusia. Betapa berat tugasnya. Tugas saya, tugas Anda, tugas kita yang mengaku muslim harus menanggung amanah ini.
Kesedian Adam dalam riwayat tersebut menandakan bahwa setiap kita adalah penjaga amanah. Setiap kita adalah pemikul tanggung jawab yang dititipkan Ilahi dulu sejak zaman kakek moyang kita tersebut.
Kesadaran menyandang tugas keagamaan inilah yang akhirnya banyak kita langgar.
Dan itu menyakitkan; berefek mudarat bukan hanya bagi diri kita sendiri, tapi juga bagi orang-orang yang kita sayangi. Seorang istri seyogyanya memahami dirinya amanah bagi sang suami. Begitu pula si suami, ia memikul beban diamanahi istri. Ayah. Ibu. Anak. Semuanya mesti berpijak pada pemahaman inti ini bila tidak ingin terjadi keseimbangan menjalin relasi satu sama lainnya.
Sungguh bukan sebuah kebetulan bila kata amanah dalam bahasa Arab bukan hanya bermakna kepercayaan, tapi juga perasaan aman dan menenteramkan. Selain itu, ada pula maknanya titipan. Semuanya itu diakomodir dalam satu tugas keagamaan bernama: amanah.
Tak aneh, bila menjaga diri sendiri demi kebaikan juga bagian dari amanah-Nya. Nafas yang kita hidu adalah amanah dari-Nya. Jiwa yang bermukim di raga kita adalah titipan-Nya. Maka, laku mana lagi yang harus kita takaburi di hadapan manusia? Laku lampah mana lagi yang kita perjuangkan kalau bukan untuk memikul misi suci ini di dunia.
Di lain surat, Allah berfirman dalam QS. An-Nisa: 58 yang berbunyi: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah-amanah kepada para pemiliknya..."
Pertanyaannya: sudah sejauh mana kita semua menyampaikan amanah kepada para pemiliknya? Kepada istri. Kepada suami. Kepada orangtua. Kepada anak. Kepada diri sendiri. Kepada mata. Telinga. Mulut. Akal. Tangan. Kaki. Sudahkah semua itu berjalan sesuai amanah yang diberikan Ilahi? Wallahua’lam bishshawab.
KOMENTAR ANDA