Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

TIDAK mau kalah dan meminggirkan logika. Begitu kira-kira pendapat yang jamak di masyarakat tentang kebiasaan perempuan saat berpihak pada sesuatu atau seseorang.

Perempuan, ketika sudah merasa senang dengan seseorang, mengklaim mereka adalah best friend forever, dan membenarkan semua perkataan dan perbuatan yang dilakukan sahabatnya itu.

Dan ketika sahabat itu terkena masalah atau dituduh melakukan suatu kesalahan, sangat sulit bagi kita untuk bersifat objektif. Kita merasa yakin bahwa sahabat kita tidak mungkin melalukan kekeliruan yang dialamatkan padanya. Kita menelan mentah-mentah penjelasan sahabat kita tanpa memedulikan pendapat pihak lain yang berseberangan dengannya.

Di dunia jurnalistik, ada satu syarat yang harus dipenuhi dalam penulisan berita yaitu cover both sides. Ketika menceritakan satu peristiwa yang memuat pro kontra, seorang jurnalis wajib menyampaikan dua versi opini dari dua pihak yang berbeda. Dengan demikian, yang disampaikan adalah fakta.

Dalam Islam, cover both sides ala jurnalis itu setali tiga uang dengan tabayyun alias pembuktian. Dalam surah Al-Hujurat ayat 6, tabayyun diartikan sebagai perintah untuk memeriksa dengan teliti. "Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasiq membawa berita, maka periksalah dahulu dengan teliti agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan."

Ayat di atas turun berdasarkan kisah tentang al Harits ad Dhirar di masa Rasulullah saw. Hampir saja pasukan muslim berperang dengan al Harits karena termakan ucapan dusta al Walid ibnu Uqbah.

Seperti yang banyak kita temui saat ini, kita wajib meneliti asal usul dan dalil sebuah informasi agar tidak terjebak hoaks. Demikian pula ketika kita mendapati sahabat kita tertimpa masalah, tabayyun tetap menjadi kewajiban kita.

Terkadang, kalimat "masak sih, kamu enggak percaya sama aku?!" dilontarkan untuk memanipulasi pikiran kita. Memaksa kita untuk meninggalkan tabayyun dan melonggarkan prinsip cover both sides.

Sahabat seolah mengatakan percuma bersahabat selama ini jika kita tidak mempercayai perkataannya.
Padahal pikiran manusia bisa saja berubah. Dalam situasi terjepit, ada orang yang mampu melakukan hal-hal yang dalam kondisi normal tidak pernah ia pikirkan atau tidak bisa ia lakukan.

Entah itu hal yang baik maupun yang buruk. Mungkin ia biasa jujur, namun karena cobaan hidup yang datang silih berganti membuatnya terpaksa berbuat curang. Lalu lama-kelamaan, karena tak juga ketauan belangnya, mulai menjadi kebiasaan buruk.

Bukan kita berburuk sangka (suudzan) kepada sahabat kita. Tapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap pihak yang berseberangan dengannya beserta bukti-bukti kesalahan sahabat kita. Masihkah kita membela sahabat tercinta?

Pahit memang, karena kita harus menjadi orang yang berlawanan dengan sahabat sendiri. Belum lagi jika kita tergabung dalam sebuah kelompok. Ketika sahabat itu mampu memanipulasi teman-teman yang lain dengan memposisikan diri sebagai orang yang terzalimi, semua pun mendukungnya mati-matian. Membutakan mata terhadap kebenaran.

Solidaritas seringkali mengabaikan tabayyun. Seperti kebiasaan tawuran para pelajar sekolah, tak peduli siapa yang benar siapa yang salah, yang penting ikut tawuran membela teman.

Padahal saling menasihati dalam kebenaran dan kebaikan adalah kewajiban sesama muslim. Setiap muslim seharusnya berdakwah kapan dan di mana saja. Berdakwah melalui contoh perilaku terpuji maupun saran dan kritik terhadap orang-orang di sekitar kita. Termasuk sahabat kita yang sedang ditimpa masalah.

Ketika bukti yang disodorkan sudah valid, maka kita harus mendukung sahabat. Namun bukan berarti kita berpihak padanya. Kita mendukungnya untuk mengakui kesalahannya, mendukungnya untuk memohon ampun kepada Allah Swt., juga menyemangatinya untuk bertobat dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Kita pun tak boleh ragu untuk meminta maaf padanya. Kita membiarkannya terpuruk hingga ia mencari jalan keluar yang salah. Kita mengabaikannya di saat ia amat membutuhkan orang lain untuk membantunya. Kita bisa berjanji pada sahabat untuk lebih hadir untuknya, untuk mendengarkan baik-baik keluh kesahnya, dan membantunya semampu kita.

Itulah sejatinya solidaritas. Menjadikan tabayyun sebagai satu langkah perbaikan yang lebih mendekatkan kita kepada Allah dalam suka maupun duka. Dan perempuan, harus (dan pasti) bisa melakukannya.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur