TIDAK ada budaya, peradaban, apalagi agama yang tidak mengajarkan anak berbakti kepada orangtuanya. Bahkan berbagai legenda dan mitos juga hadir turun-temurun mengukuhkan pentingnya bakti. Salah satunya Malin Kundang. Legenda dari tradisi Minangkabau ini kerap digunakan sebagai ‘senjata’ yang dikisahkan orangtua untuk menekankan larangan melawan orangtua. Terutama ibu.
Ya, namanya saja legenda, yang lahir dari mitos. Ketika orang-orang dahulu bertemu batu mirip manusia maka diciptakanlah cerita. Agar materi bakti kepada orangtua masuk kepada anak-anak, maka dikaranglah legenda Malin Kundang. Ya, maklumlah, zaman dahulu pendidikan masih banyak mengandalkan cara menakut-nakuti.
Tapi, kini kita telah mendarat mulus di era milenial, yang anak-anaknya makin modern, cerdas dan kian kritis. Cara menakut-nakuti mulai tidak menggentarkan nyali mereka yang terbiasa berpikir logis. Lantas, apakah tema berbakti kepada orangtua tidak menjadi relevan lagi?
Tentunya tidaklah demikian.
Selogis apapun cara pikir, maka ingatlah setiap manusia itu masih punya hati. Bakti itu berkaitan dengan cinta, maka perasaan akan sangat memainkan peranan penting. Sangat penting malah!
Alih-alih memakai kabar pertakut macam legenda Malin Kundang, ajaran Islam lebih mengandalkan kisah-kisah bertabur cinta dalam menyemangati bakti anak terhadap orangtuanya. Dalam kajian hadis, di antara kisah yang termasyhur adalah sosok Uwais Al-Qarni.
Betapa dahsyatnya kisah Uwais Al-Qarni yang menggendong ibunya naik haji, dari Yaman ke Mekkah. Betapa luar biasa bakti yang dipersembahkannya! Jangankan menggendong, naik pesawat dari Yaman ke Mekkah saja sudah capek. Bahkan menggendong orang keliling Ka’bah saja sudah melelahkan, apalagi Uwais Al-Qarni yang melakukannya dengan menyeberangi padang pasir tandus dengan jalan kaki. Luar biasa!
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya seorang laki-laki akan datang kepadamu dari penduduk Yaman. Ia dinamakan Uwais. Ia tidak meninggalkan Yaman kecuali karena ibunya. Benar-benar ada pada dirinya penyakit kulit. Ia kemudian berdoa kepada Allah, maka Allah menghilangkan darinya, kecuali bekas sebesar dinar atau dirham. Barangsiapa yang menemuinya di antara kamu, mintalah dia agar meminta ampunan untukmu.” (HR. Muslim)
Umar bin Khattab pun mencari-carinya hingga ketemu lalu meminta doa dari lelaki yang dipuji oleh Nabi Muhammad tersebut. Uwais Al-Qarni memang lelaki yang menakjubkan, atas amal baktinya Allah mengabulkan doa-doanya. Dirinya disembuhkan dari penyakit kulit, bahkan orang-orang dianjurkan minta doa dari dirinya.
Namun, pembahasan jangan berhenti pada Uwais saja, karena bagaimana bakti anak tidak terlepas dari cinta yang dilimpahkan oleh orangtuanya. Ibunya perempuan yang penuh kasih, yang lembut dan mendukung impian putranya. Dan tidak mengherankan, dari budi pekerti mulia ibunya maka Uwais mereguk saripati akhlak yang terbukti dalam baktinya yang spektakuler.
Nabi Muhammad adalah orangtua yang penuh cinta. Berulangkali beliau memberikan peluk cium untuk putrinya, ketika berpasang-pasang mata lelaki Arab memandang jijik. Maklum, bagi mereka anak perempuan itu dikubur hidup-hidup, atau yang masih dibiarkan hidup hanyalah mendapatkan nista dan hina. Maka Rasulullah mencium putrinya di depan umum, demi membuktikan cinta sehingga anak pun memberikan bakti tanpa dipinta.
Pada kitab Riyadhus Shalihin, karya Imam An-Nawawi terdapat hadis dari Abu Hurairah, dia menuturkan, Nabi Muhammad mencium cucunya Hasan bin Ali ketika berada di samping Al-Aqra' bin Habis. Al-Aqra' berkata, “Aku mempunyai sepuluh anak, tetapi tidak ada satu pun yang pernah aku cium.”
Beliau menoleh ke arah Al-Aqra' sambil berkata, “Siapa yang tidak mengasihi, dia tidak akan dikasihi." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis inilah rumusan yang perlu kita pegang sebagai orangtua dalam mengajarkan bakti. Tanpa perlu menuntut, mengancam tentang bakti anak, karena mereka akan menyadari sendiri dari lubuk hatinya apabila telah terbiasa diberi cinta kasih.
Hati anak yang suci akan lebih mudah menyerap cinta dan membalasnya dalam bakti sepenuh kasih pula. Kalau orangtua memberikan pada anaknya kekejaman atau kekejian, jangan heran bila anak tidak memahami esensi bakti.
Islam ini agama yang baik, dan orang-orang baik akan memperoleh ganjaran setimpal dari kebaikannya. Berbagai perdebatan tentang bakti perlu landasan yang kokoh, yaitu ajaran agama. Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi agama akan mengarahkan kita kepada kebenarannya.
KOMENTAR ANDA