Siapkah sarana dan prasarana untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru di sekolah?/ Foto: Ilustrasi (Net)
Siapkah sarana dan prasarana untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru di sekolah?/ Foto: Ilustrasi (Net)
KOMENTAR

PEMBELAJARAN Jarak Jauh (PJJ) yang dijalankan hampir satu tahun ini telah menjadi pengalaman berharga bagi siswa, guru, dan orangtua.

Keluhan datang dari ketiganya. Siswa yang sangat jenuh, guru yang harus bekerja ekstra kreatif untuk membuat materi yang menarik, juga orangtua yang harus menyediakan waktu lebih intens untuk mendampingi anak di depan laptop.

Meski banyak yang mengeluhkan PJJ, wacana kembali ke sekolah yang digaungkan akan dimulai akhir tahun ini tetap menimbulkan kekhawatiran semua orang, terutama orangtua.

Di antara yang menjadi tanda tanya besar adalah: Siapkah sarana dan prasarana untuk mendukung adaptasi kebiasaan baru di sekolah? Dan mampukah pihak sekolah menerapkan kedisiplinan dan konsistensi untuk menjamin terlaksananya protokol kesehatan 3M?

Untuk berdiskusi terkait berbagai kesiapan tersebut, RMOL.id bekerja sama dengan Satgas Penanganan Covid-19 menghadirkan BINCANG SEHAT bertema "Siapkah Kita Membuka Sekolah?" menghadirkan Dr. Diyah Purworini, Co-Founder Yayasan Anak Sudarti Medan, Educator & Parenting Councellor, Jumat (13/11/2020).

Mengawali bincang sehat, dr. Diyah mengingatkan bahwa Corona virus tipe-2 yang merupakan penyebab Covid-19 memiliki pola serangan dan menimbulkan keluhan yang berbeda dari flu biasa.

"Harus diketahui, tubuh anak-anak bukanlah miniatur orang dewasa. Ketika orang dewasa bisa sembuh, maka langkah-langkah penyembuhannya tidak sama dengan anak-anak."

Dr. Dyah menyebutkan bahwa negara Asia yang dikenal memiliki angka kematian anak tertinggi (dengan berbagai penyebab) adalah India, Myanmar, juga Pakistan. Tapi sangat menyedihkan karena ketika berbicara Covid-19, angka kematian anak di Indonesia bersaing dengan negara-negara tersebut.

Data IDAI menunjukkan dari 2712 kasus positif Covid-19 pada anak, sebanyak 51 anak meninggal dunia. Dan masih ada lebih dari 2700 suspect secara gejala klinis. Dua di antara penyebab banyaknya jumlah kasus Covid-19 pada anak adalah masih ada anak Indonesia yang memiliki status kesehatan kurang baik (malnutrisi) dan relatif memiliki faktor co-morbid (malnutrisi membuat anak lebih rentan tertular dan jika terkena akan lebih parah).

Banyak orangtua yang merasa sudah memberikan gizi berimbang bagi anak. Tapi mesti diingat, virus ini juga tergolong kuat. Jika membiarkan anak keluar rumah, artinya orangtua membiarkan anak memiliki kemungkinan terpapar.

"Untuk membuka sekolah, apakah institusi pendidikan sudah siap? Harus deteksi thermogun setiap anak, butuh waktu berapa lama? Bagaimana dengan pengawasan, pelaporan, juga tindak lanjut jika ada anak yang positif? Jangan sampai sekolah menjadi klaster baru. Karena itu jika membicarakan SKB 4 Menteri tentang kembali ke sekolah, harus dipastikan kesiapan dan detail rencana A, B, dan C nya seperti apa," ujar dr. Diyah.

Memang betul, banyak orangtua yang sudah mulai kembali WFO (work from office) hingga mereka mengeluhkan kesulitan mendampingi anak dalam PJJ. Karena itulah harus ada win-win solution agar anak tidak menjadi korban. Karena bagaimana pun juga, orangtua adalah sosok pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak.

Menurut dr. Diyah, sangat penting menjadikan 3M sebagai mentalitas dan bagian dari gaya hidup. "Karena nanti sekali pun ada vaksin, Corona virus ini adalah tipe virus RNA yang bisa berubah bentuk. Prediksi saya, kita tidak cukup satu kali suntik untuk mengusir virus ini selamanya."

Vaksin adalah satu ikhtiar agar meskipun terpapar Covid-19, diharapkan kondisinya tidak separah jika belum mendapat vaksin. Karena itulah, membuka sekolah saat ini—saat vaksin belum ada—terbilang sangat berisiko.

dr. Diyah menekankan kesiapan tiga pihak sebelum melaksanakan SKB 4 Menteri tentang pembukaan sekolah berdasarkan zona Covid-19.

Pertama, kesiapan institusi pendidikan. Apakah bisa menjamin disiplinnya protokol kesehatan 3M, waktu belajar yang tidak boleh lebih dari 4 jam mengingat durasi penggunaaan masker lebih dari 4 jam sudah tidak sehat, pengurangan siswa dalam satu ruangan, juga fasilitas dan sarana-prasarana yang dibutuhkan untuk pencegahan penularan Covid-19.

Kedua, kesiapan anak. Anak usia SMA mungkin lebih bisa didisiplinkan. Tapi bagaimana dengan anak-anak usia SD dan TK? Penggunaan masker secara baik dan benar dan physical distancing tentu menjadi hal krusial yang harus dipastikan dijalankan anak-anak. Sudah siapkah pihak sekolah mengawasi? Adakah tim khususnya?

Ketiga, kesiapan orangtua. Pada akhirnya, keputusan untuk anak bisa kembali ke sekolah atau tetap PJJ ada di tangan orangtua. Karena itulah pertimbangkan dengan matang. Jangan membolehkan dengan alasan "tidak ada yang mengawasi PJJ di rumah" atau "sudah tidak sanggup lagi mendampingi anak untuk belajar".

"Kesiapan ini pada akhirnya menjadi kasuistik. Fokuslah pada sekolah anak kita masing-masing. Karena ada sekolah yang siap fasilitas dan sarananya, banyak juga yang tidak siap. Bisa diuji coba dan orangtua bisa memantau apakah sekolah memberlakukan peraturan yang ketat dan menjalankannya secara konsisten," tegas dr. Diyah.

 




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News