Pasangan ilmuwan yang juga suami istri, Profesor Ugur Sahin bersama istrinya, dr Ozlem Tureci/ Foto: The New York Times
Pasangan ilmuwan yang juga suami istri, Profesor Ugur Sahin bersama istrinya, dr Ozlem Tureci/ Foto: The New York Times
KOMENTAR

TIDAK lama lagi, vaksin Corona pertama di dunia akan diluncurkan. BioNTech bekerja sama dengan Pfizer sukses membuat vaksin Pfizer diakui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).

'Lightspeed' (kecepatan cahaya), begitu proyek perusahaan Jerman BioNTech ini menamainya. Mulai dikerjakan pada awal tahun, mereka menargetkan pengembangan vaksin dalam tempo yang mencatat rekor. Karena lazimnya, pengembangan vaksin memerlukan waktu 8-10 bulan.

Lalu, siapa tokoh dibalik kesuksesan ini? Mereka adalah dua ilmuwan Jerman keturunan Turki, Ugur Sahin dan Ozlem Tureci.

Ketika wabah Corona melanda China pada Januari 2020 dan belum satupun orang Jerman yang khawatir akan pecahnya pandemk, kedua pakar ini justru sudah bereaksi positif. Sahin dan Tureci langsung mengarahkan riset untuk mencari vaksin antivirus Corona. Dan hasilnha, 3 bulan kemudian BioNTech punya kandidat vaksin yang sudah memasuki fase pengembangan klinis.

Awalnya, baik Sahin maupun Tureci fokus pada riset untuk memerangi kanker. Uniknya, metode yang mereka gunakan berbeda jauh dari terapi kanker konvensional yang sudah ada.

Menurut pengetahuan keduanya, pasien kanker tidak mengalami mutasi genetika sel kanker yang persis sama atau identik. Karenanya, penanganan tidak bisa dilakukan dengan tindakan operasi, kemoterapi, atau radiasi yang sama dan baku. Artinya, setiap pasien memerlukan terapi yang dirancang untuk masing-masing.

Mereka juga tahu, tubuh manusia mampu menolong dirinya sendiri saat diserang virus atau bakteri. Karenanya, para ahli ini mengembangkan terapi imunisasi yang merangsang mekanisme penyembuhan diri sendiri dan melepas "polisi" dari sistem kekebalan tubuh, untuk memerangi dan membasmi sel tumor jahat.

Sahin: Riset Adalah Jalan Hidupku

Dilahirkan di Turki, 54 tahun silam, Ugur Sahin dibawa orangtuanya bermigrasi ke Jerman di usia 4 tahun. Ayahnya lalu bekerja di pabrik mobil Ford di Koln.

Tumbuh besar, Sahin kuliah di jurusan kedokteran Universitas Koln. Dan di usia yang masih terbilang muda, 20 tahun, dia mulai melakukan riset dan bekerja di laboratorium.

"Saya menyadari sejak dini tertarik pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Saya tertarik pada terapi sistem imunitas," kata Sahin.

Pada 1992 Sahin lulus program Doktoral dengan penghargaan Summa Cum Laude. Kemudian bekerja sebagai dokter ahli penyakit dalam dan hematologi atau onkologi di Rumah Sakit Universitas Koln.

Ia kemudian pindah ke RS Universitas Saarland dan akhirnya bertemu dengan Ozlem Tureci yang menjadi istrinya hingga sekarang.

Tureci sendiri adalah putri seorang dokter yang juga bermigrasi dari Istanbul, Turki ke Jerman. Ia melanjutkan pendidikan di Universitas Saarland dan saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Mainz sekaligus dikenal sebagai pionir terapi kanker dan imunitas.

Tahun 2001, bersama calon suami, Sahin, Tureci mendirikan Ganymed Pharmaceuticals, perusahaan biofarmasi yang mengembangkan obat kanker terapi imunitas. Sayang, pada 2016 perusahaan itu dijual dengan harga 422 juta euro.

Dipertengahan 2008, Sahin dan Tureci mendirikan perusahaan bioteknologi lainnya dan kini mencatatkan namanya di buku sejarah, BioNTech. Perusahaan ini mengembangkan teknologi dan obat untuk terapi imunitas yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu.

Dari berbagai sumber.

 




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Health