KALAULAH tidak ada Nabi Muhammad, entah bagaimana caranya kita akan mengetahui dialog cinta berikut ini:
Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta'ala apabila mencintai seorang hamba, lalu memanggil Jibril kemudian berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mencintai si Fulan, maka cintailah dia.’
Jibril lalu mencintainya. Seterusnya Jibril memanggil seluruh penghuni langit lalu berkata, ‘Sesungguhnya Allah mencintai si Fulan, maka cintailah olehmu semua si Fulan itu.’ Orang itu pun lalu dicintai oleh para penghuni langit. Selanjutnya diletakkanlah penerimaan (kecintaan) itu baginya dalam hati para penghuni bumi.
Dan jika Allah tidak meyukai seorang hamba, maka dipanggillah Jibril lalu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku tidak meyukai si Fulan itu, maka bencilah engkau padanya.’
Jibril lalu membencinya, kemudian ia memanggil semua penghuni langit sambil berkata, ‘Sesungguhnya Allah membenci si Fulan, maka bencilah engkau semua padanya.’ Selanjutnya diletakkanlah rasa kebencian itu dalam hati para penghuni bumi.” (Imam An-Nawawi dalam bukunya Riyadhus Shalihin)
Berbagai kepercayaan sejak zaman kuno telah terobsesi dengan visi langit, dari itulah berbagai rumah ibadah dibangun tinggi atau di daerah ketinggian, dengan harapan makin dekat dengan langit.
Di Persia, agama Zoroaster membangun menara-menara tinggi sebagai upaya pendekatan dengan penghuni langit. Tak perlu jauh-jauh, candi-candi di Dieng berada di ketinggian juga demi mendekatkan diri dengan visi langit.
Bagaimana dengan Islam memandang visi langit? Visinya adalah cinta, sebagaimana yang dikupas dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda, “Orang-orang yang penyayang niscaya akan disayangi pula oleh Ar-Rahman (Allah). Maka sayangilah penduduk bumi niscaya yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh Al-Albani)
Jadi, terlihat ada korelasi yang kuat antara penghuni langit dengan bumi dalam urusan cinta. Apabila Tuhan telah jatuh cinta pada seseorang, maka para malaikat disuruh mencintainya pula, lalu ditanamkan pula oleh Tuhan rasa cinta di hati penguhuni bumi terhadap orang tersebut. Kemudian, bagaimana caranya agar dicintai oleh penghuni langit atau Allah?”
Sebaliknya, jika ingin dicintai oleh penghuni langit, maka penting bagi kita untuk mencintai penghuni bumi; mulai manusia, binatang, tumbuhan, alam sekitar dan lain-lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis di atas. Cinta berbalas cinta. Itulah rumus cinta yang mengeratkan antara penghuni langit dan bumi.
Lalu bagaimana jadinya jika cinta penghuni langit berhasil diraih? Mari resapi dengan kebeningan hati kisah berikut ini:
Ibnu Abid Dunia mengutip perkataan Hasan Basyri dalam kitab Al-Majanin Fiddua, tentang sahabat Rasulullah yang dijuluki Abu Mughlaq adalah seorang pedagang. Ia terbiasa berdagang barang-barang sendiri atau menjalankan dagangan orang lain. Ia berdagang sampai keliling negeri yang jauh. Di samping itu ia juga seorang yang ahli ibadah dan terkenal sangat wara' dan menjauhi hal-hal yang meragukan.
Suatu saat dalam perjalanannya, ia bertemu dengan seorang perampok yang sedang menghunuskan senjatanya. Perampok itu mengatakan, “Letakkan semua barang-barangmu, kalau tidak akan kubunuh kau!”
Abu Mughlaq berkata, “Mengapa Anda menginginkan darahku? Ambillah hartaku dan pergilah.”
Ia berkata, “Tidak! Harta itu untukku dan aku ingin membunuhmu.”
Abu Mughlaq berkata, “Jika engkau tetap tidak mau, biarkan aku shalat empat rakaat.”
Perampok itu berkata, “Silahkan shalat semau kamu.”
Dia lantas mengambil air wudhu dan shalat empat rakaat. Doa yang ia ucapkan dalam sujud terakhir adalah, “Wahai Yang Maha Pengasih, wahai Pemilik Arasy yang agung, wahai yang Maha Mengerjakan kehendak-Nya, aku meminta kepada-Mu dengan kekuatan-Mu yang tidak terkalahkan, dengan kerajaan-Mu yang tidak tertandingi, dengan cahaya-Mu yang memenuhi tiang-tiang Arasy-Mu. Jagalah aku dari kejahatan perampok ini, wahai Yang Maha Pemberi pertolongan! Tolonglah aku, tolonglah aku, tolonglah aku!”
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda dengan membawa tombak menyerang si perampok dan menusuknya. Si penunggang kuda menghampiri Abu Mughlaq dan mengatakan, “Bangkitlah!”
Dia mengatakan, “Demi ayah dan ibuku, siapakah Anda? Hari ini Allah telah menolongku lantaran engkau.”
Si penunggang kuda itu mengatakan, “Saya adalah malaikat penghuni langit ke empat. Tatkala Anda berdoa aku mendengar pintu-pintu langit berbunyi . Tatkala Anda berdoa kedua kali aku mendengar hiruk-pikuk semua penghuni langit. Tatkala Anda berdoa ketiga kali aku mendengar titah, ‘Inilah doa orang yang sedang kesulitan.’ Kemudian aku meminta kepada Allah agar mencabut nyawa si pelaku kejahatan ini.” (dikutip dari Muḥammad ibn Abi Bakr Ibn Qayyim al-Jawziyah pada buku Penawar Hati yang Sakit)
Kisah yang kental nuansa spiritual ini hanya dapat dicerna dengan kebeningan hati. Ketika Tuhan telah jatuh cinta, apa saja dapat diwujudkannya. Sebagaimana halnya cinta, butuh hati untuk memakluminya.
KOMENTAR ANDA