Berpikirlah mendalam sebelum jemari menuliskan ketidakpekaan kita. Lipat saja tangan kita bila terlalu \'dahaga\' untuk menulis komentar sementara kita belum tahu duduk perkara sesungguhnya/ Net
Berpikirlah mendalam sebelum jemari menuliskan ketidakpekaan kita. Lipat saja tangan kita bila terlalu \'dahaga\' untuk menulis komentar sementara kita belum tahu duduk perkara sesungguhnya/ Net
KOMENTAR

KITA telah sampai pada babak kehidupan di mana eksistensi menjadi segalanya. Terutama di jagat media sosial. Memang betul bahwa setiap kita punya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Tapi yang kita sering lupa, ada hak orang lain yang juga harus kita hormati. Pelanggaran hak tersebut kemudian memicu terjadinya kesalahpahaman hingga perseteruan hanya gara-gara kukuh mempertahankan eksistensi.

Sebagai warganet, ada di antara kita yang aktif mengunggah konten positif. Entah itu penggalan tausiyah para dai, aneka tips gaya hidup sehat, resep masakan, hingga tips parenting. Ada pula di antara kita yang memilih mengunggah aktivitas bersama keluarga dan sahabat.

Dan banyak pula di antara kita yang memiliki lebih dari dua akun media sosial, satu digunakan untuk unggahan pribadi dan satu lagi dikhususkan untuk kepentingan wirausaha.

Selain tipe pengguna media sosial di atas, ada pula sebagian besar dari kita yang memilih untuk tidak terlalu aktif menggunggah foto dan status tetapi lebih memilih menjadi "komentator". Tidak pernah absen mengomentari setiap unggahan orang lain, baik itu teman dalam kehidupan sehari-hari maupun teman online, termasuk para figur publik. Nyinyir.

Nah, komentar-komentar itulah yang tak jarang menimbulkan pro-kontra. Mungkin komentar itu ditulis secara spontan, secepat kilat, supaya terkesan kita termasuk orang-orang yang selalu update. Namun tidak peduli saat bad mood sekali pun, kita tetap menulis komentar. Hasilnya, banyak orang menilai tulisan kita sangat kejam, menjatuhkan, dan tidak cerdas.

Ketika kita hanya ingin 'didengar' lewat jari-jemari kita di keyboard ponsel, sama artinya kita membiarkan empati terkubur eksistensi. Tidak peduli ada hati yang tersakiti. Tidak peduli ada keluarga yang terhina. Tidak peduli ada niat baik yang ternodai. Kita menyuarakan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita ingin katakan tanpa mau dan tanpa mampu berempati terhadap sesama.

Pernahkah terpikir oleh kita jika ada orang lain yang tidak tahu-menahu tentang hidup kita tapi sok tahu mengomentari foto atau video yang kita unggah di media sosial? Menertawakan, mengolok-olok, mengejek, memaki, atau menuduh yang tidak-tidak.

Menulis kata-kata yang menghakimi seolah-olah dialah orang paling benar di muka bumi yang bersih dari khilaf dan dosa. Dan entah apa sebabnya, apa pun yang kita unggah, semuanya berpotensi untuk dikomentari secara negatif. Bahkan jelita pun serupa jelaga.

Berpikirlah mendalam sebelum jemari menuliskan ketidakpekaan kita. Lipat saja tangan kita bila terlalu 'dahaga' untuk menulis komentar sementara kita belum tahu duduk perkara sesungguhnya. Kepalkan saja jemari kita agar tidak menjadi tirani yang membuat orang lain sedih dan sengsara.

Saatnya kita belajar menahan diri untuk tidak berburuk sangka dan berkata buruk. Belajar menjadi manusia bijak yang mampu menahan nafsu amarah. Belajar menjadi warganet yang tahu sopan santun dan menghargai kepentingan orang lain.

Belajar membedakan mana kritik membangun, mana tong kosong berbunyi nyaring, dan mana ujaran kebencian yang memang sengaja ditulis untuk membakar emosi.

Komentar kita yang terunggah di media sosial bukanlah sesuatu yang main-main. Seluruh dunia bisa membacanya. Maka komentar kita untuk menjadi simbol dari siapa diri kita.

Apakah kita adalah tipe orang yang senang melihat kesusahan orang lain atau kita adalah tipe orang yang selalu mengulurkan tangan untuk membantu. Apakah kita memelihara dengki dan sombong atau kita menerima serta menghargai keberhasilan orang lain. Jangan sampai komentar kita menjadi satu bentuk cyberbullying.

Tak perlulah memaksa diri untuk eksis jika hanya memperlihatkan kecacatan nurani kita. Tidak ada untungnya. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Nama kita bisa ternama, namun dalam urusan yang memalukan dan menyengsarakan.

Sungguh, diam jauh lebih bijak karena ketidakpenasaran justru meredam kepicikan dan menenangkan pikiran.

 




Dukung Riset dan Publikasi Ilmiah, Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Luncurkan Jurnal Yustisia Hukum dan HAM “JURNALIS KUMHAM”

Sebelumnya

Momen Unik yang Viral, Kebersamaan Presiden Prabowo dan Kucing Bobby Kertanegara di Istana

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News